Selasa, 09 Agustus 2011

Nadia, LKM, dan Mimpinya

Sebelum LKM, saya tidak pernah terikat dengan organisasi mana pun. Ketika SD, saya hanya seorang gadis kecil yang hobby bermain Barbie. Beranjak SMP, saya masih belum bisa membuka diri. Saya hanya bergabung sebagai anggota di ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR). Saya sempat juga menjadi anggota Pramuka, namun itu hanya karena diwajibkan oleh guru BP. Lulus dari SMP, saya masuk SMK yang memiliki klub debat Bahasa Inggris. Karena saya memang menyukai bahasa yang satu ini, saya pun bergabung.

Di klub debat, saya tidak harus mengurus apa-apa. Saya hanya harus berlatih, berlatih, dan berlatih hingga menjadi juara. Semua yang saya butuhkan, baik itu minuman, makanan, hingga pakaian untuk lomba, semua disediakan oleh guru pembimbing saya yang amat baik hati. Pelatih debat saya memang galak, tapi ada ibu guru yang senantiasa memanjakan saya. What a fun!

Memasuki Universitas Negeri Jakarta, saya berkenalan dengan Lembaga Kajian Mahasiswa. Awalnya, saya hanya tahu lembaga ini suka melakukan diskusi tentang berbagai issue (mirip klub debat saya), dan para pengurusnya telah menang lomba dimana-mana. Saya pun tertarik dan bergabung. Setelah dua tahun menjalani di LKM, ternyata LKM jauh dari sebatas yang saya tahu di atas.

Tahun pertama di LKM, saya bahagia sekali memiliki banyak kakak dan teman-teman baru. Saya dikenalkan dengan dunia kajian, penulisan, dan public speaking. What a great! Berkat kegiatan-kegiatan rutin dan budaya di LKM, saya membuka diri untuk tidak hanya membaca komik dan novel, tapi juga buku-buku ilmiah. Saya beberapa kali meluncurkan pendapat di kelas berdasar buku-buku yang saya baca. Hal ini berhasil membuat seisi kelas terdiam dan hanya memerhatikan apa yang saya ucap.

Saya juga membiasakan diri untuk menulis, karena saya tak mau kenangan saya musnah. Hal ini terjadi segera setelah saya mendengar kalimat “script manent, verba volent!”. Kalian dapat melihat tulisan-tulisan saya di nadia-nurfadilah.blogspot.com . Pengalaman menulis yang masih teringat hingga sekarang adalah ketika saya menulis kontemplasi untuk Buletin Kaji edisi pertama pada tahun kepengurusan 2010-2011. Saya tak pernah menyangka, tulisan itu akan dipuji oleh seorang kakak senior, hahah. Padahal kalo sekarang dibaca lagi, pasti banyak banget kurangnya.

Tak berhenti sampai di situ, Saya pun menjadi semakin percaya diri untuk berbicara di depan orang banyak. Bisa dibilang, tiap kali saya presentasi, suasana di kelas menjadi hidup. Seorang teman yang jarang masuk kelas pernah berkata, “gue ngerti nad, kalo lu yang presentasi”, ditutup dengan senyumannya. Saya juga beberapa kali dipercayai menjadi MC dan moderator. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Karena teman-teman tahu saya anak LKM, saya sering diberi tawaran untuk menjadi MC di acara jurusan. Padahal, saya tidak bergabung dengan himpunan mahasiswa jurusan ataupun fakultas.

Tahun pertama di LKM, benar-benar tahun dengan banyak pengalaman baru. Berlanjut ke tahun kedua, saya dan teman-teman BRAIN (nama angkatan 09 LKM) mendapat adik-adik. PLATO, itu nama mereka. Tanpa disangka-sangka pula, pasca pergantian kepengurusan, saya diamanahkan menjadi Ka.Dept. PSDM. Saya senang menerima amanah tersebut, namun saya pun tahu pasti ini akan berat.

Benar saja, menjadi salah satu BPH (bada pengurus harian) memiliki tanggungjawab yang tidak sedikit. Masalah silih berganti hadir, baik internal maupun eksternal LKM. Saya, yang dulu hanya seorang remaja perempuan yang suka dimanja, sekarang harus bertanggungjawab atas banyak hal. Tak hanya LKM, tapi juga keluarga dan akademik.

Saya belajar banyak hal dari LKM. Saya mulai mengerti apa itu komitmen terhadap organisasi, bahkan saya juga baru tahu istilah BPH dari LKM (hahahah,gak gaul).
Saya mulai belajar me-manage waktu yang hanya 24jam per-hari nya. Saya belajar untuk bergaul dengan banyak orang dari lingkungan (kelas) yang berbeda. Saya dikenalkan dengan berbagai keilmuan yang sangat beragam di LKM. Intinya, saya belajar banyak hal di LKM. :)

Bila ditanya, apa mimpi saya ke depannya? Saya pasti akan menjawab, “Diplomat!!!”. Heheh, saya memang bercita-cita menjadi diplomat muda (umur kepala 2), yang membela Indonesia di mancanegara. Bekal-bekal yang saya dapat di LKM, saya yakin akan sangat berguna dalam rangka mencapai mimpi saya itu. Oke, cukup itu cita-cita saya.

Kalo harapan untuk LKM, tentunya saya berharap bisa terus belajar di LKM, dan membagi apa yang telah saya dapat kepada generasi-generasi LKM seterusnya. “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”, yak kan Boy?!(Boy, sahabat saya). Saya berharap tak ada istilah “lost generation” di LKM. Setiap tahunnya, LKM harus mencentak pemikir-pemikir muda yang memegang teguh MEDIS. Terus semangat LKM’ers! Jangan sampai buat LKM bersedih. Go go girls and boys..! *senyum semangat

By. Princess Nadia
Sm*sh blast amatir yg cuma suka Bisma :p

Anda Ikhlas? Silahkan Masukkan Uang ke Kantong Saya


Anda Ikhlas? Silahkan Masukkan Uang ke Kantong Saya
Oleh Nadia Nurfadilah

“Dasar anak badut, anak badut..!”, begitu teman-teman Gigih biasa mengejek. Gigih, bocah berusia sebelas tahun adalah putra kedua dari seorang Badut di Taman Monumen Nasional (Monas).

Minggu, 17 Juli 2011. Seperti hari Minggu yang biasanya, Monas diramaikan oleh banyak pengunjung yang sengaja meluangkan waktunya di tempat ini. Mereka duduk-duduk di bawah pohon, jalan berkeliling monas, serta ada juga yang sengaja menikmati pijat refleksi.

Di tepi barat Tugu Monas, seorang Badut kelinci dengan warna ungu nya yang mencolok, menarik perhatian. Orang-orang biasa memanggilnya ‘Om Badut’. Tak ada pengunjung atau pun pedagang yang tahu nama asli Om Badut ini, kecuali anaknya Gigih. Menurut penuturan Gigih, Kusmono adalah nama asli Bapaknya.

Kusmono, bapak yang sehari-hari bekerja di sebuah konveksi tas di daerah Taman Mini, setiap hari sabtu dan minggunya mengenakan kostum badut kelinci. Ia dengan tulus hati menghibur pengunjung yang melintas (khususnya anak-anak) di tepi barat Tugu Monas. Ia melambaikan tangan, bersalaman, serta rela diajak foto bersama.

Om Badut menggantungkan nasib pendapatannya pada keikhlasan hati para pengunjung. Ia tidak digaji oleh instasi pemerintahan. Ia juga tidak terikat dengan yayasan atau instasi mana pun. Ia adalah seorang badut yang bekerja mandiri dengan satu-satunya kostum yang ia punya.

Seusai berfoto bersama, Pengunjung yang sadar biasanya memasukan uang ke kantong depan Om Badut. Namun, masi banyak pengunjung yang tidak tahu atau mungkin enggan memberikan uang tersebut. Mereka berpikir Om Badut adalah hiburan gratis tatkala mereka melintas. Om Badut tak pernah meminta-minta untuk diberikan uang. “Kalo gak dikasih, ya gak apa-apa”, cerita om Badut.

Pendapatan Om Badut berkisar antara Rp 30.000 - Rp 40.000 per hari. Pernah sesekali Om Badut mendapatkan Rp 65.000 ketika Monas benar-benar ramai. Itu pun masi dibilang kecil, mengingat ongkos perjalanan Om Badut dari rumahnya di Bekasi menuju Monas. Belum lagi ia harus merogoj kocek untuk makan bersama Gigih, anaknya yang selalu ikut ia bekerja. Setiap malam minggu, bahkan Om Badut dan Gigih terpaksa menginap di emperan stasiun Gambir demi mengirit ongkos mereka.

Selain Gigih, Om Badut masih mempunyai dua putra. Wisnu (19) yang memilih pindah ke Aceh untuk mencari nafkah, dan Wondan (13) yang sekarang duduk di tingkat 2 SMP Al-Huda. Istri Om Badut adalah seorang ibu rumah tangga. Namun, ia seringkali dimintai tolong untuk mengasuh anak tetangganya.

Gigih mengaku malu jika teman-temannya tahu bahwa Bapaknya adalah seorang Badut di Monas. Pernah ketika Om Badut masih bekerja di Taman Mini Indonesia Indah (tahun 2006), teman-teman Gigih mengejek dirinya “Dasar anak badut, anak badut..!”. Karena itulah, saat ini Ia memilih untuk tidak memberitahu satu pun temannya tentang pekerjaan Bapak di hari Sabtu dan Minggu.

Berbeda dengan pengakuan anaknya, Om Badut tidak malu mengakui bahwa dirinya adalah seorang Badut. “Gak malu, orang nyari duitnya halal kok!”, tutur Om Badut. Om Badut mengaku senang menghibur, terutama anak-anak. “Kaya anak sendiri aja”. Ia tidak mengeluh jenuh, kepanasan, atau pun lelah, meskipun ia harus berjam-jam berdiri mengenakan kostum kelinci yang tebal.

Sungguh mulia hati Om Badut. Ia tetap bermurah hati menghibur warga Jakarta yang ada di Monas, meskipun nasibnya seringkali tak diperhatikan. Ia rela difoto bak model, meski tanpa bayaran. Ia rela berpanas-panasan hanya demi menunggu bocah kecil yang melintas.