Udara pagi segar menyapa. Tepat jam 6, dari halte busway UNJ, sudah terlihat beberapa gerombolan bersepeda menuju tengah jakarta. Anak-anak muda hingga orang tua dengan semangat pagi menggoes sepedanya. Perjalanan berlanjut.
Tepat di halte busway Bundaran HI, terlihat ratusan orang sudah memadati sekeliling bundaran HI. Banyak anak muda berada di sekeliling kolam. Beberapa sibuk berpose, beberapa lagi hanya duduk santai, bercengkrama dengan teman-teman sambil menikmati udara pagi. Ratusan sepeda memadati jalan Sudirman. Begitu ramai. Ditambah lagi suara dua orang polisi lalu lintas, pria dan wanita, yang dengan lantang menyerukan aba-abanya agar para penikmat car free day tidak memasuki jalur busway. “agar keluar dari jalur busway, karena busway tetap beroperasi”.
Bundaran HI, tempat yang selalu ramai di tiap hari minggunya. Entah karena acara car free day atau pun sekadar diramaikan komunitas sepeda yang sengaja berkumpul di sana. Yang jelas, Bundaran ini tak akan sepi di hari Minggu. Selain orang yang bersepeda, banyak juga yang sengaja jogging di sini. Semakin lengkap dengan hadirnya orang-orang dengan tali bertuliskan Canon atau Nikon menggantung di lehernya yang siap mengabadikan moment menarik. “Dengan motret, waktu seakan abadi”, ujar seorang fotografer muda yang penulis temui.
Car free day hanya salah satu contoh kegiatan yang meramaikan bundaran HI di hari Minggu. Masih banyak lagi event-event besar yang mengambil lokasi di bundaran satu ini. Sebut saja acara Sepeda Ria yang diadakan salah satu TV swasta, Gerakan Seribu Langkah, serta berbagai aksi damai dan gerakan-gerakan kepemudaan.
Acara TV pun turut mengambil latar Bundaran HI. Beberapa FTV, sinetron, acara hiburan, bahkan acara berita yang tayang di stasiun tv berita Indonesia. Berbagai contoh di atas cukup menjelaskan betapa besar animo masyarakat terhadap bundaran yang berlandaskan kolam air mancur yang semakin menambah daya tariknya.
Orang-orang dari berbagai penjuru Jakarta bersedia meluangkan waktunya ke sini. “Ini anak seneng liat air mancur”, aku pak Prapto yang jauh-jauh dari Tanjung Duren mengunjungi Bundaran HI bersama anak dan istrinya. “Setiap hari Minggu saya ke sini sama keluarga”, cerita Mas Yuda yang bersepeda dari Johar Baru. Ada juga Mas Yayan dan Mas Yohanes dari Rawamangun yang turut serta dalam Car Free Day tanggal 13 Februari 2011. “Kesini diajak Yohanes”, cerita Mas Yayan.
Mas Yohanes terlihat sedang melakukan exercises di pinggir kolam untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya. Mas Yohanes yang bekerja di bidang MKL sengaja mengunjungi Bundaran HI demi menemui seorang gadis cemceman-nya. “Dia udah jauh-jauh ke sini, tuh cewenya kabur-kabur mulu. Seneng foto dia.”, cerita Mas Yayan seraya menunjuk seorang gadis di kejauhan. “Cerita apaan lu? Wah..”, Mas Yohanes mendekat. Lalu tawa pun tergelak di antara kami.
Selain hari Minggu, bundaran HI bukannya tidak ramai di hari biasa. Bundaran ini tetap padat di hari kerja (weekdays). Bukan dengan sepeda dan orang ber-jogging ria, melainkan dengan berbagai macam kendaraan. Padat, bahkan merayap pada rush hours. Kendaraan umum, sepeda motor, dan berbagai merek mobil pribadi terlihat memadati bundaran ini. Apalagi setelah hujan mengguyur Jakarta, bisa dipastikan lalu lintas sekitar bundaran HI akan stuck. “Jum’at sore sama habis hujan, itu bisa sampe stuck”, cerita Pak Sunaryo, Danton I di Pos Pol Thamrin.
Tak hanya itu, demo yang hampir setiap hari menghiasi bundaran HI pun menambah padatnya jantung kota ini. “Di sini tiap hari demo Neng, tambah macet.”, cerita Pak Herman. Pria berusia 54 tahun ini setia mengatur formasi air mancur kolam Bundaran HI dari sebuah ruang kecil di bawah tanah. Dan ia pun tak keberatan membersihkan sekeliling kolam sehabis demo berlangsung.
Kemacetan yang luar biasa di Bundaran ini memang membuat orang-orang kapok melintas. Banyak waktu yang akan dihabiskan di jalan. “waduh, kalo hari biasa sih gak mau lewat sini”, keluh pak Prapto yang bekerja di daerah Kelapa Gading.
Mungkin banyak juga orang seperti Pak Prapto yang sengaja menghindari jalur ini di hari kerja. Tapi lebih banyak lagi yang harus tetap bersabar melintasi bundaran ini meski macet menghadang. “memang setiap hari lewat sini”, ujar Mas Yayan yang bekerja di gedung UOB, yang letaknya memang tak jauh dari Bundaran HI.
Sama halnya dengan Mas Yayan, Nova, seorang mahasiswi semester empat pun bercerita bahwa setiap harinya ia memang harus melewati Bundaran HI. Ketika ditanya mengapa memilih lewat bundaran HI, ia berkata “memang jalur busway nya lewat sini.” Simple memang alasannya. Namun ia menambahkan, “seneng juga liat air mancurnya, apalagi kalo malem, banyak lampu gemerlapan”.
Pemandangan macet di Bundaran HI memang tak bisa dipungkiri, namun keindahannya pun tak dapat kita ingkari. Pengakuan Nova menjadi salah satu buktinya. Ditambah lagi cerita seorang teman yang berdomisili di Bogor. Ia begitu takjub ketika malam hari melintasi Bundaran HI “waaaaaah…”, ucapnya ketika melihat lampu-lampu gemerlapan di sana.
Lampu-lampu, air mancur, gedung-gedung tinggi menjulang, kemacetan, plus polisi berseragam hijau menyala yang sibuk mengatur lalu lintas adalah objek yang biasa terpampang di sekeliling bundaran HI ini. Rupanya, hal ini begitu menarik bagi anak-anak muda yang suka memotret dengan DSLR favoritnya.
Hampir setiap malam minggu, segerombolan anak muda datang ke bundaran HI untuk hunting foto. Mereka sengaja datang untuk memotret patung, polisi, kendaraan, dan berbagai objek lainnya yang bagi mereka menarik. Salah satu dari mereka adalah Allan. “Bundaran HI itu kebanggaan Jakarta”, ucap mahasiswa dari salah satu universitas di Bandung ini. Allan sengaja memajang hasil jepretan bundaran HI nya di Galeri Foto virtual miliknya. Foto yang diambil dengan Nikon D40x itu menunjukan betapa megahnya patung yang menjulang di atas kolam bundaran itu. Foto itu ia beri nama “Welcome Jakarta”.
Judul foto Allan mengingatkan kita pada sejarah awal didirikannya bundaran Hotel Indonesia. Bundaran yang dibangun seiring dengan berdirinya Hotel pertama di Indonesia ini memiliki maksud untuk menyambut para Atlet Asian Games tahun 1962.
Sejarah Bundaran HI
Bundaran HI didirikan pada tanggal 5 Agustus 1962 yang mana latar belakang pendiriannya adalah Asian Games ke-4 pada tahun tersebut di mana Indonesia menjadi tuan rumahnya.
Dalam rangka menyambut Asian Games yang keempat, pemerintah Indonesia mendirikan beberapa bangunan yang menunjukan mercusuarnya. Mulai dari Gelora Bung Karno sebagai lokasi pertandingan, Rumah Sakit Persahabatan, Hotel Indonesia untuk menginap para atlet, sekaligus patung selamat datang untuk menyambut para atlet tersebut. Bundaran HI ini lah yang dimaksud.
Bundaran HI terletak di pertemuan garis axis utara dan selatan Jakarta, yang mengikat kawasan Tanjung Priuk di sebelah utara dan kawasan Kebayoran di sebelah selatan. Bundaran HI merupakan pertemuan antara jalan-jalan protokol, atau beberapa orang menyebutnya Jalur Naga. Ada jalan Imam Bonjol, M.H. Thamrin, Jend. Sudirman, Sutan Shahrir, dan Kebon Kacang.
Bundaran yang berbentuk lingkaran piring raksasa ini, memiliki diameter 100 m, dan berlandaskan air kolam, yang memiliki lima formasi air mancur. Konon, lima formasi ini menunjukan tanda memberi salam. Salam selamat pagi, selamat siang, selamat petang, selamat malam, dan selamat berhari Minggu. Jumlahnya yang lima, juga menunjukan dasar Negara kita, yaitu Pancasila, yang terdiri dari lima sila.
Di puncak Bundaran HI, terdapat sepasang patung remaja, perempuan dan laki-laki setinggi tujuh meter, yang ditopang oleh pilar beton setinggi 30 m. Keduanya melambaikan tangannya yang sebelah kanan. Tangan kiri patung perempuan memegang seikat bunga. Patung-patung ini seakan mengucapkan salam. “seperti bilang dadah..”, cerita Pak Prapto ketika ditanya mengenai sejarah Bundaran HI. Pak Prapto yang bekerja di daerah Kelapa Gading, sengaja mengunjungi Bundaran HI setiap minggunya. Tak hanya menikmati apa yang disuguhkan di sana, ternyata Ia pun cukup banyak tahu mengenai sejarahnya.
Patung tersebut memang seakan memberikan kedalaman makna dari maksud pendiriannya. Sepasang patung remaja melambaikan tangan lambaian selamat datang menyambut semua kontingen Asian Games yang datang ke Indonesia. Sampai sekarang, sepasang patung tersebut tetap melambaikan tangan. Mengucapkan selamat datang. Namun, kepada siapa kah? Para pendemo? Para penikmat car free day? Atau para antek kapitalisme?
Bundaran HI kini
Bundaran HI terlihat begitu modern karena dikelilingi gedung-gedung pencakar langit. Sungguh berusaha menunjukan economic growth dari Indonesia, kota Jakarta khususnya. Sekeliling Bundaran menjadi pusat bisnisnya kota Megapolitan ini. Terdapat menara BCA, menara Mandiri dan Deutsche Bank di sana yang mewakili sektor perbankan. Mandarin Hotel, HYATT, Hotel Indonesia Kempinski, Nikko Hotel menjadi ambassador hotel mewah di Indonesia. Kedutaan, Gedung UOB, dan lain sebagainya semakin menambah peran penting lokasi yang satu ini.
Tak asing pula kita mendengar beberapa perusahaan property yang menjadikan Bundaran HI senjatanya. “Lokasi perumahan kami, hanya lima belas menit dari jantung kota”, tergambar lah Bundaran HI. Beberapa scene di FTV dan Sinetron yang berkisah akan seorang dari kampung yang pindah ke Jakarta pun, selalu memunculkan Bundaran HI untuk menarasikan kota Jakarta. Bahkan salah satu tayangan adzan di TV Swasta menampilkan seorang pria yang sedang memotret di Bundaran HI.
Bundaran HI kini seakan menjadi jantungnya Ibu Kota. “Bundaran HI ini kan pusatnya kota. Jadi kita pengen tahu Bundaran HI kalo hari minggu seperti apa, kalo hari biasa seperti apa”, ungkap Pak Suprapto yang tak bisa setiap hari melintasi bundaran ini.
Sepertinya ungkapan Bundaran HI adalah Jantung Kota ini jugalah yang menjadi alasan para demonstran berkumpul di bundaran untuk menyuarakan aspirasinya. Puluhan pendemo hampir setiap hari terlihat di pinggiran Bundaran HI. Alasan mereka berdemo beragam. Menuntut janji presiden, janji pengusaha untuk upah yang layak, mengecam pornografi dan lain sebagainya. Namun, tempat yang mereka pilih sama, yaitu Bundaran HI.
Bundaran HI sendiri tidak dikelilingi kantor-kantor Pemerintahan. Namun, bagi mereka, Bundaran HI adalah tempat yang tepat untuk menyuarakan aspirasinya. Ruang terbuka, yang dilintasi ratusan orang setiap harinya, tentu akan tepat untuk menarik perhatian di sana. Akan banyak mata melihat, reporter meliput, serta pejabat pemerintahan yang mendengar. “Kalo di sini kan banyak yang lihat”, ucap Pak Sunaryo, Danton I pos polisi Thamrin, yang biasa mengawasi demo di sini.
“Kalo di sini kan ruang terbuka, kalo di Monas mah banyak pagar-pagarnya, siapa juga yang akan lihat”, ujar Mas Yayan yang ditanyai perihal pendapatnya mengenai para demonstran di Bundaran HI.
Selain aksi penuntutan, aksi-aksi Damai seperti Kampanye anti seks bebas pun diselenggarakan di Bundaran HI. Aksi yang menyerukan agar generasi muda dan masyarakat secara umum menjauhi free sex ini diatur sedemikian rupa agar lancar dan tidak menyebabkan kemacetan.
Bundaran HI seperti menjadi wadah spesial untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Apa pun aspirasinya. Penuntutan, himbauan, hingga seruan putus cinta. Seorang pria bule bernama James Mathew berenang mengelilingi kolam bundaran HI sambil menyerukan nama seorang gadis. “Eni, Eni, Eni”. Hal ini terjadi bertepatan dengan aksi massa memprotes setahun Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu, 20 Oktober 2010.
Tempat berkumpul para demonstran rupanya juga menjadi tempat berkumpul para fotografer. Bila para demonstran memilih di sekeliling kolam, para fotografer memilih lebih menepi ke jalan Sutan Syahrir. Tepat di samping pos Polisi Thamrin, terdapat sebuah warung kopi dan jejeran para penjual makanan. Bukan Allan dan teman-teman fotografer muda nya yang ada di sana, melainkan para fotografer senior.
Di siang hari yang cukup terik menjelang sholat Jum’at, Lebih dari sepuluh orang-orang membawa tas besar berkumpul di sana. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki. Hanya terlihat dua perempuan di sana sedang mengutak-atik laptopnya seraya berteduh di bawah pohon rindang. Pria-pria di sana ada yang sibuk menikmati hisapan rokoknya, berbincang dengan seorang pria lainnya, ada juga yang berkumpul tertawa bersama dengan pisang goreng di tangan kanannya.
Perkumpulan orang-orang bertas besar itu rupanya adalah wartawan foto berbagai media. Media cetak dan online. Kamera DSLR dan berbagai aksesorinya lah yang ternyata menjejali tas para fotografer tersebut. Perkumpulan para wartawan foto ini dimulai tahun 2009. Pada masa itu, ada banyak warung bermunculan di jalan Sutan Syahrir. Nasi Padang, Soto ayam, minuman, dan lain sebagainya. Namun sekarang, hanya tersisa satu warung kopi ditemani beberapa penjual makanan dengan gerobak. “Kalo dulu, di sini banyak warungnya. Sekarang tinggal satu”, cerita Pak Hartono, wartawan foto bidang Ekonomi.
Pak Hartono adalah fotografer dari media IndoPos yang sengaja beristirahat di warung kopi seberang Bundaran HI. Ia memilih tempat ini karena lokasinya yang berada di tengah kota. Sehingga akses untuk kemana saja menjadi lebih mudah. Mengingat, profesinya adalah seorang wartawan. “Kalo sini kan tengah, jadi kita kalo ada panggilan, gampang aksesnya”, ucap Pak Hartono menceritakan kisah dirinya dan teman-teman fotografer seperjuangan.
Rupanya tempat berkumpul ini juga dilengkapi fasilitas Wi-fi yang didapat dari kantor subsektor pos polisi Thamrin yang memang tepat berada di sebelahnya. Para Wartawan foto yang bekerja untuk media online menjadi lebih mudah untuk mendapatkan akses internet. Pekerjaanya untuk meng-upload berita pun tetap berjalan sekalipun ia sedang bersantai di warung kopi.
Kisah perkumpulan para wartawan foto ini mungkin hanya menjadi seberkas kecil kisah berlatar Bundaran HI. Tentu, banyak lagi kisah-kisah lain yang terjadi di bundaran HI ini. Setiap detik, menit, jam, dan harinya, Bundaran HI menghadirkan cerita. Terlebih bagi Pak Herman dan Rekannya, yang memang bertugas men-secure bundaran tersebut. Pak Herman bahkan bercerita tentang gadis misterius yang suka secara tiba-tiba muncul di sekitar kolam. Gadis itu muncul di antara jam 00.00 – 05.00 a.m. Gadis itu muncul, mengejutkan manusia yang melihatnya, lalu dengan seketika menghilang.
“Pernah tiba-tiba muncul dari arah hotel menyebrang menuju kolam, terus tahu-tahu menghilang”, cerita Pak Herman yang seketika membuat penulis merinding saat mendengarnya.
Kemacetan, demo dan aksi, car free day, perkumpulan fotografer, hingga cerita hantu, semua terkisah dari bundaran yang terletak di Jantung Kota Megapolitan ini. Bundaran yang pada awalnya didirikan sebagai patung penyambut para atlet Asian Games, kini telah bermetamorfosa menjadi ikon ibukota dan memiliki makna lebih dari sekadar patung selamat datang.
Lokasinya yang berada tepat di tengah Jakarta, menjadikannya titik yang selalu dipadati kendaraan. Keberadaannya di ruang terbuka, menjadi alasan terpilihnya ia sebagai tempat berdemo yang strategis. Landasan kolam, air mancur, deretan gedung pencakar langit serta lampu-lampu yang berpendar tak lelah membuatnya gemerlap di malam hari. Dulu, sekarang, hingga nanti, Bundaran HI akan tetap menjadi saksi bisu yang merekam berbagai kisah yang tengah terjadi di kota Jakarta.
cip lha
BalasHapushttp://febriirawanto.blogspot.com/