Kalo yang lupa part 5 nya kaya apa, coba dibaca dulu di link berikut http://www.facebook.com/note.php?note_id=497893999388. Kalo udah, ini dia lanjutannya…
Aku sibakkan gorden jendela kamarku. Cahaya matahari menelusup masuk. Ada seorang pria berdiri di sana. Ia melambaikan tangan seraya tersenyum. Ah! Aku segera berlari keluar kamar menuju pintu masuk rumah. Dan ketika ku buka pintunya.
“Taraaaaaaaaaam..! Hallo Ney! Apa kabar?”
“Kamu kok bisa ada di sini?”
“Iya, lagi liburan. Kaget banget gitu sih? Seneng kan aku datang? Hahaha”
“Hm,,iya seneng”, jawab ku datar. “Ayo masuk”
Tarra. Iya kembali dari Amerika. Caranya kembali begitu aneh. Mengapa tiba-tiba mengetuk kaca jendela kamarku? Tidakkkah ia tahu, hal ini membuatku berharap Fahrezi yang datang? Ia menyadarkanku, Fahrezi tak mungkin datang. Ia sudah pergi, bahkan tak pernah ada dalam dunia nyata. Ia Andi yang memainkan peran sebagai Bundaran HI-ku.
“Ney, kamu apa kabar?”
“Seperti yang kamu lihat.”
“Masih nunggu dia?”, pasti yang Tarra maksud adalah Fahrezi.
“Hm…” Aku menundukkan wajah ku.
“Kamu setia banget ya sama dia. Kamu buat hati aku sakit tau.”
Aku terdiam mendengar ucapan Tarra. Aku sungguh minta maaf karena telah membuatmu menunggu Tar. Aku sungguh tidak bermaksud jahat.
“Tapi sekarang udah gapapa kok. Ney, ikut aku yuk!”
“Mau kemana?” tanyaku heran.
“Udah ayo, ikut aja!”
Mobil Tarra sudah melaju selama 20 menit. Kami memasuki pusat kota Jakarta.
“Tar, kita mau kemana sih?”
“Ke Hotel”
“Hah? Ngapain???”
“Entar juga tau!”
“Jangan macem-macem ya Tar”
“Iya,iya. Hahahah”
Bundaran HI. Kenapa mesti lewat sini sih? Sebenarnya mau apa si Tarra ini. Aku abaikan rasa penasaranku. Ku pandangi setiap air mancur yang ada di kolam bundaarn itu. Menyejukkan. Bundaran ini masih tetap baik-baik saja. Patung nya masih berdiri tegak melambaikan tangan. Kolamnya pun masih tetap dihiasi dengan air mancur. Lalu lintasnya masih tetap padat seperti biasa. Si Bundaran HI-ku juga pasti sedang baik-baik saja. Aku tak habis pikir mengapa ia setega ini terhadap ku.
Kami memasuki hotel berbintang di kawasan Bundaran ini. Lalu kami duduk di salah satu restorannya. Tarra terlihat sedang mencari seseorang. Ia menebarkan pandangannya ke sekeliling restoran.
“Nah, itu dia!”. Tarra melambaikan tangan kepada seseorang yang baru saja memasuki restoran.
Orang itu mendekat. Tarra menyambutnya dengan peluk dan cipika-cipiki ala orang Barat. Ia duduk di sebelah Tarra.
“Ney, kenalin! Ini Vina. Pacar aku, kita kenalan di Amrik”
“Vin, ini Neysha. Teman yang sering aku certain ke kamu”
Tarra sibuk mengenalkan kami berdua. Aku menyambut hangat jabat tangan Vina. Wanita lembut nan cantik yang berpakaian sangat matching. Jinsnya yang ketat senada dengan warna tas nya yang buatan Italia. Blouse longgar yang memperlihatkan bahu sebelah kanannya sangat match dengan warna high heels yang dikenakannya. Rambutnya yang dicat brown tergerai indah dengan sedikit gelombang di bagian bawahnya. Warna softlense nya begitu senada dengan rambut indahnya. Dia benar-benar “Miss Matching”.
Kami menghabiskan kurang lebih satu jam untuk berbincang. Aku mengucapkan selamat atas kebahagiaan mereka. Ternyata Tarra sudah tidak menunggu ku. Maksud ia mengajakku ke sini rupanya untuk mengenalkan ku pada Vina. Entah apa maksudnya. Yang jelas, ia sekarang sudah memiliki kekasih. Aku pamit pulang pada mereka berdua. Tarra bermaksud mengantarku kembali pulang, tapi aku menolak.
Aku berjalan kaki ke luar hotel. Aku tak langsung naik taksi yang tersedia di depan lobby hotel. Aku ingin berkeliling sejenak mendekati Bundaran. Seraya berjalan di bawah kolong langit ini, aku berpikir. Aku mereview kejadian-kejadian hari ini. Fahrezi telah mati. Tarra kembali lalu pergi lagi. Ia hanya numpang lewat.
Aku menerka-nerka apa alasan Andi berlaku seperti ini. Mengapa ia tega sekali membuat identitas palsu dan berpura-pura mencintaiku. Aku kira hanya ada dua kemungkinan mengapa terjadi hal seperti ini. Pertama, Andi adalah seorang Playboy kelas kakap, yang sangat ahli menipu wanita. Atau yang kedua, Andi adalah seorang Psychosis yang tak pernah merasa bahwa dirinya telah melakukan kesalahan.
Aku segera mengambil HP di dalam tas ku. Terlintas suatu ide dalam benakku. Jari-jari ku bergegas mengetikkan nama itu. MOHAMMAD FAHREZI AMARA. Ku kirim ke nomor handphone Andi. Message delivered.
Tak lama kemudian, satu pesan masuk inbox-ku. Dari Andi. “Ada yang bisa saya bantu, Mas?” Aku balas, “Ini Fahrezi kan?”. Sms kembali masuk. “Maaf, saya bukan Fahrezi”. Smsnya membuatku geram. Ia masih saja tak mengaku siapa dirinya. Padahal aku sudah tau siapa dia. Aku katakan, “Oh, tentu saja. Fahrezi tidak kuliah di Bandung!”. Tak ada lagi sms balasan. Sungguh tega si Andi ini. Darah ku seakan naik ke otak. Aku begitu kesal. Cinta yang selama ini ku beri, dibalas dengan kedustaan yang sungguh menjijikan.
*
Aku sampai di rumah. Segera ku buka kotak yang berisi segala macam benda yang menyimpan kenangan ku dengan Fahrezi. Ada foto-foto ia di sana. Tersenyum khas dengan gigi gingsul nya. Aku tak tahan melihat senyuman ini. Tangan ku bergetar. Air mata siap meluncur deras ke pipi ku. Tapi ku tahan. Aku harus kuat.
Aku cabik-cabik semua foto dan tulisan-tulisan tangannya yang ku simpan rapi di kotak itu sejak dahulu kala. Tangan kanan ku sudah siap dengan sebuah korek api gas. Tangan kiri ku yang memegang sobekan itu terasa berat untuk mendekatkannya ke api. Aku membakarnya. Ku lihat wajahnya hangus bersama api. Entah perasaan macam apa yang ada di hati ku saat ini.
Di luar hujan begitu deras. Percikan airnya seakan menertawakan kebodohanku yang tertipu pangeran bertopeng dusta. Ku buang sisa bakaran ke luar. Ia terbawa aliran air hujan menjauh dari diri dan hidup ku. Bakaran itu mnyimbolkan semua kenangan ku tentang nya. Bakaran itu juga sebagai penanda berhentinya penantian ku selama lebih dari lima bulan. Ku biarkan seluruh tubuh ku basah oleh air hujan, agar tak ada yang tahu bahwa air mata ku mengalir bersama hujan ini.
*
Hari-hari berlalu. Sudah setengah tahun sejak pembakaran di malam itu. Cinta ku telah mati. Hati ku beku bersama jalannya waktu. Aku tak pernah lagi mencoba menghubungi Andi. Aku hapus nomor handphone nya. Aku block akun facebooknya. Aku tutup semua akses untuk mengingatkan ku padanya.
Sampai saat ini, aku tak tahu apa alasan Andi berpura-pura menjasi Fahrezi. Apa alasannya memiliki dua identitas. Bagaimana ia bisa menjalani hidup sebagai dua orang yang berbeda. Bagaimana juga ia berpura-pura begitu manis di depan ku. Entahlah. Yang pasti aku tahu. Aku pernah mencintainya. Mencintainya dengan segenap perasaanku. Tapi mungkin ini hanyalah cinta sendiri. Bukan cinta yang betepuk dengan kedua tangan, karena nyatanya Fahrezi adalah Andi. Andi yang telah memiliki Tia di dalam hidupnya. Terkadang, kita memang harus menerima bahwa ada rahasia di balik rahasia. Namun aku tetap yakin, setiap hal yang terjadi pasti menyimpan hikmahnya tersendiri.
Saat ini, aku sedang menyibukkan diri dengan pekerjaan freelance ku. Masi di redaksi majalah yang sama. Kali ini, aku mendapat tugas meliput komunitas sepeda yang berkumpul setiap minggu di Bundaran HI. Awalnya, aku keberatan karena aku harus melihat kembali bundaran itu yang bisa saja menguak kembali memori menyakitkan yang ku punya. Tapi, ini tugas dan aku harus professional. Aku rasa, setengah tahun sudah cukup untuk ku menyembuhkan luka. Aku harus bisa. Seorang penulis, tidak boleh kalah dengan traumanya.
Matahari mulai bergerak ke atas kepala. Aku harus berdamai dengan cuaca seperti ini. Banyak orang terlihat memadati bundaran yang satu ini. Mereka sibuk dengan sepeda nya masing-masing. Banyak juga yang sibuk dengan kamera DSLR nya. Oh,,Nikon D40x. Kamera kesayangan Fahrezi. Aku memandangi orang-orang yang membawa kamera itu dari kejauhan. Kebanyakan dari mereka masih muda. Mungkin seumuran dengan ku atau bahkan lebih muda.
Ada seseorang berpostur tubuh tinggi dengan badan yang agak kurus tak jauh dari tempat ku berdiri. Postur tubuhnya mirip sekali dengan si Bundaran HI. Ia mengenakan celana jins panjang dan jaket hitam. Rambutnya tidak pemdek cepak, melainkan agak sedikit panjang. Aku tak bisa melihat tampak depannya, ia sedang sibuk memotret gedung-gedung tinggi di sekitar bundaran. Ia berjalan mundur perlahan. Selangkah demi selangkah semakin mendekat ke arah ku. Aku hanya diam. Tubuh ku seakan terpaku di titik itu.
“Bruuuk.”
Ia menabrak ku yang tepat berada di belakangnya. Aku mengenali aroma parfumnya. Ini aroma Bvlgari Extreme yang sudah lama ku buang jauh dari hidup ku. Jantung ku berdegup kencangnya. Saking kencangnya, mungkin lelaki itu pun bisa mendengar suara degupannya.
“Eh, sorry.sorry..”, Ia membalikkan badan seraya membenarkan tas yang hampir jatuh dari lingkaran bahunya. Wajahnya tepat berada di hadapan ku. Dan ……………
#siap dengan kejutan berikutnya????? THE END.
Hahahahahah….
:D Akhirnya selesai juga cerbung yang satu ini. Sungguh menguras emosi menuliskan cerita di atas. Bikin gak mau makan kecuali lapar, dan gak mau tidur kecuali ngantuk *Bang Dika banget nih. Hahah
Terimakasih buat kalian semua yang udah bersedia baca. Maaf udah nunggu lama. Maaf juga, kalo endingnya gak sesuai yang kalian harapkan. Tapi, saya punya alasan sendiri kenapa memilih ending seperti ini. Terimakasih buat sahabat saya Nova yang banyak sekali memberi masukan sebelum saya menuliskan ini. Tapi maaf ya nov, ide gila yang luar biasa itu gak saya masukin di cerita ini. Hehe. Makasi juga buat Bahja dan Novi yang sering kasi saya semangat untuk menulis. And thanks for all of you guys, yang gak bisa disebutin satu-satu. Tunggu karya saya selanjutnya ya!
likee likee. uppp up :P
BalasHapus:D :D :D
BalasHapus