Minggu, 22 Mei 2011

Lebih dari sekadar “Patung Selamat Datang”

Udara pagi segar menyapa. Tepat jam 6, dari halte busway UNJ, sudah terlihat beberapa gerombolan bersepeda menuju tengah jakarta. Anak-anak muda hingga orang tua dengan semangat pagi menggoes sepedanya. Perjalanan berlanjut.

Tepat di halte busway Bundaran HI, terlihat ratusan orang sudah memadati sekeliling bundaran HI. Banyak anak muda berada di sekeliling kolam. Beberapa sibuk berpose, beberapa lagi hanya duduk santai, bercengkrama dengan teman-teman sambil menikmati udara pagi. Ratusan sepeda memadati jalan Sudirman. Begitu ramai. Ditambah lagi suara dua orang polisi lalu lintas, pria dan wanita, yang dengan lantang menyerukan aba-abanya agar para penikmat car free day tidak memasuki jalur busway. “agar keluar dari jalur busway, karena busway tetap beroperasi”.

Bundaran HI, tempat yang selalu ramai di tiap hari minggunya. Entah karena acara car free day atau pun sekadar diramaikan komunitas sepeda yang sengaja berkumpul di sana. Yang jelas, Bundaran ini tak akan sepi di hari Minggu. Selain orang yang bersepeda, banyak juga yang sengaja jogging di sini. Semakin lengkap dengan hadirnya orang-orang dengan tali bertuliskan Canon atau Nikon menggantung di lehernya yang siap mengabadikan moment menarik. “Dengan motret, waktu seakan abadi”, ujar seorang fotografer muda yang penulis temui.

Car free day hanya salah satu contoh kegiatan yang meramaikan bundaran HI di hari Minggu. Masih banyak lagi event-event besar yang mengambil lokasi di bundaran satu ini. Sebut saja acara Sepeda Ria yang diadakan salah satu TV swasta, Gerakan Seribu Langkah, serta berbagai aksi damai dan gerakan-gerakan kepemudaan.

Acara TV pun turut mengambil latar Bundaran HI. Beberapa FTV, sinetron, acara hiburan, bahkan acara berita yang tayang di stasiun tv berita Indonesia. Berbagai contoh di atas cukup menjelaskan betapa besar animo masyarakat terhadap bundaran yang berlandaskan kolam air mancur yang semakin menambah daya tariknya.

Orang-orang dari berbagai penjuru Jakarta bersedia meluangkan waktunya ke sini. “Ini anak seneng liat air mancur”, aku pak Prapto yang jauh-jauh dari Tanjung Duren mengunjungi Bundaran HI bersama anak dan istrinya. “Setiap hari Minggu saya ke sini sama keluarga”, cerita Mas Yuda yang bersepeda dari Johar Baru. Ada juga Mas Yayan dan Mas Yohanes dari Rawamangun yang turut serta dalam Car Free Day tanggal 13 Februari 2011. “Kesini diajak Yohanes”, cerita Mas Yayan.

Mas Yohanes terlihat sedang melakukan exercises di pinggir kolam untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya. Mas Yohanes yang bekerja di bidang MKL sengaja mengunjungi Bundaran HI demi menemui seorang gadis cemceman-nya. “Dia udah jauh-jauh ke sini, tuh cewenya kabur-kabur mulu. Seneng foto dia.”, cerita Mas Yayan seraya menunjuk seorang gadis di kejauhan. “Cerita apaan lu? Wah..”, Mas Yohanes mendekat. Lalu tawa pun tergelak di antara kami.

Selain hari Minggu, bundaran HI bukannya tidak ramai di hari biasa. Bundaran ini tetap padat di hari kerja (weekdays). Bukan dengan sepeda dan orang ber-jogging ria, melainkan dengan berbagai macam kendaraan. Padat, bahkan merayap pada rush hours. Kendaraan umum, sepeda motor, dan berbagai merek mobil pribadi terlihat memadati bundaran ini. Apalagi setelah hujan mengguyur Jakarta, bisa dipastikan lalu lintas sekitar bundaran HI akan stuck. “Jum’at sore sama habis hujan, itu bisa sampe stuck”, cerita Pak Sunaryo, Danton I di Pos Pol Thamrin.

Tak hanya itu, demo yang hampir setiap hari menghiasi bundaran HI pun menambah padatnya jantung kota ini. “Di sini tiap hari demo Neng, tambah macet.”, cerita Pak Herman. Pria berusia 54 tahun ini setia mengatur formasi air mancur kolam Bundaran HI dari sebuah ruang kecil di bawah tanah. Dan ia pun tak keberatan membersihkan sekeliling kolam sehabis demo berlangsung.

Kemacetan yang luar biasa di Bundaran ini memang membuat orang-orang kapok melintas. Banyak waktu yang akan dihabiskan di jalan. “waduh, kalo hari biasa sih gak mau lewat sini”, keluh pak Prapto yang bekerja di daerah Kelapa Gading.

Mungkin banyak juga orang seperti Pak Prapto yang sengaja menghindari jalur ini di hari kerja. Tapi lebih banyak lagi yang harus tetap bersabar melintasi bundaran ini meski macet menghadang. “memang setiap hari lewat sini”, ujar Mas Yayan yang bekerja di gedung UOB, yang letaknya memang tak jauh dari Bundaran HI.

Sama halnya dengan Mas Yayan, Nova, seorang mahasiswi semester empat pun bercerita bahwa setiap harinya ia memang harus melewati Bundaran HI. Ketika ditanya mengapa memilih lewat bundaran HI, ia berkata “memang jalur busway nya lewat sini.” Simple memang alasannya. Namun ia menambahkan, “seneng juga liat air mancurnya, apalagi kalo malem, banyak lampu gemerlapan”.

Pemandangan macet di Bundaran HI memang tak bisa dipungkiri, namun keindahannya pun tak dapat kita ingkari. Pengakuan Nova menjadi salah satu buktinya. Ditambah lagi cerita seorang teman yang berdomisili di Bogor. Ia begitu takjub ketika malam hari melintasi Bundaran HI “waaaaaah…”, ucapnya ketika melihat lampu-lampu gemerlapan di sana.

Lampu-lampu, air mancur, gedung-gedung tinggi menjulang, kemacetan, plus polisi berseragam hijau menyala yang sibuk mengatur lalu lintas adalah objek yang biasa terpampang di sekeliling bundaran HI ini. Rupanya, hal ini begitu menarik bagi anak-anak muda yang suka memotret dengan DSLR favoritnya.

Hampir setiap malam minggu, segerombolan anak muda datang ke bundaran HI untuk hunting foto. Mereka sengaja datang untuk memotret patung, polisi, kendaraan, dan berbagai objek lainnya yang bagi mereka menarik. Salah satu dari mereka adalah Allan. “Bundaran HI itu kebanggaan Jakarta”, ucap mahasiswa dari salah satu universitas di Bandung ini. Allan sengaja memajang hasil jepretan bundaran HI nya di Galeri Foto virtual miliknya. Foto yang diambil dengan Nikon D40x itu menunjukan betapa megahnya patung yang menjulang di atas kolam bundaran itu. Foto itu ia beri nama “Welcome Jakarta”.

Judul foto Allan mengingatkan kita pada sejarah awal didirikannya bundaran Hotel Indonesia. Bundaran yang dibangun seiring dengan berdirinya Hotel pertama di Indonesia ini memiliki maksud untuk menyambut para Atlet Asian Games tahun 1962.

Sejarah Bundaran HI

Bundaran HI didirikan pada tanggal 5 Agustus 1962 yang mana latar belakang pendiriannya adalah Asian Games ke-4 pada tahun tersebut di mana Indonesia menjadi tuan rumahnya.

Dalam rangka menyambut Asian Games yang keempat, pemerintah Indonesia mendirikan beberapa bangunan yang menunjukan mercusuarnya. Mulai dari Gelora Bung Karno sebagai lokasi pertandingan, Rumah Sakit Persahabatan, Hotel Indonesia untuk menginap para atlet, sekaligus patung selamat datang untuk menyambut para atlet tersebut. Bundaran HI ini lah yang dimaksud.

Bundaran HI terletak di pertemuan garis axis utara dan selatan Jakarta, yang mengikat kawasan Tanjung Priuk di sebelah utara dan kawasan Kebayoran di sebelah selatan. Bundaran HI merupakan pertemuan antara jalan-jalan protokol, atau beberapa orang menyebutnya Jalur Naga. Ada jalan Imam Bonjol, M.H. Thamrin, Jend. Sudirman, Sutan Shahrir, dan Kebon Kacang.

Bundaran yang berbentuk lingkaran piring raksasa ini, memiliki diameter 100 m, dan berlandaskan air kolam, yang memiliki lima formasi air mancur. Konon, lima formasi ini menunjukan tanda memberi salam. Salam selamat pagi, selamat siang, selamat petang, selamat malam, dan selamat berhari Minggu. Jumlahnya yang lima, juga menunjukan dasar Negara kita, yaitu Pancasila, yang terdiri dari lima sila.

Di puncak Bundaran HI, terdapat sepasang patung remaja, perempuan dan laki-laki setinggi tujuh meter, yang ditopang oleh pilar beton setinggi 30 m. Keduanya melambaikan tangannya yang sebelah kanan. Tangan kiri patung perempuan memegang seikat bunga. Patung-patung ini seakan mengucapkan salam. “seperti bilang dadah..”, cerita Pak Prapto ketika ditanya mengenai sejarah Bundaran HI. Pak Prapto yang bekerja di daerah Kelapa Gading, sengaja mengunjungi Bundaran HI setiap minggunya. Tak hanya menikmati apa yang disuguhkan di sana, ternyata Ia pun cukup banyak tahu mengenai sejarahnya.

Patung tersebut memang seakan memberikan kedalaman makna dari maksud pendiriannya. Sepasang patung remaja melambaikan tangan lambaian selamat datang menyambut semua kontingen Asian Games yang datang ke Indonesia. Sampai sekarang, sepasang patung tersebut tetap melambaikan tangan. Mengucapkan selamat datang. Namun, kepada siapa kah? Para pendemo? Para penikmat car free day? Atau para antek kapitalisme?


Bundaran HI kini

Bundaran HI terlihat begitu modern karena dikelilingi gedung-gedung pencakar langit. Sungguh berusaha menunjukan economic growth dari Indonesia, kota Jakarta khususnya. Sekeliling Bundaran menjadi pusat bisnisnya kota Megapolitan ini. Terdapat menara BCA, menara Mandiri dan Deutsche Bank di sana yang mewakili sektor perbankan. Mandarin Hotel, HYATT, Hotel Indonesia Kempinski, Nikko Hotel menjadi ambassador hotel mewah di Indonesia. Kedutaan, Gedung UOB, dan lain sebagainya semakin menambah peran penting lokasi yang satu ini.

Tak asing pula kita mendengar beberapa perusahaan property yang menjadikan Bundaran HI senjatanya. “Lokasi perumahan kami, hanya lima belas menit dari jantung kota”, tergambar lah Bundaran HI. Beberapa scene di FTV dan Sinetron yang berkisah akan seorang dari kampung yang pindah ke Jakarta pun, selalu memunculkan Bundaran HI untuk menarasikan kota Jakarta. Bahkan salah satu tayangan adzan di TV Swasta menampilkan seorang pria yang sedang memotret di Bundaran HI.

Bundaran HI kini seakan menjadi jantungnya Ibu Kota. “Bundaran HI ini kan pusatnya kota. Jadi kita pengen tahu Bundaran HI kalo hari minggu seperti apa, kalo hari biasa seperti apa”, ungkap Pak Suprapto yang tak bisa setiap hari melintasi bundaran ini.
Sepertinya ungkapan Bundaran HI adalah Jantung Kota ini jugalah yang menjadi alasan para demonstran berkumpul di bundaran untuk menyuarakan aspirasinya. Puluhan pendemo hampir setiap hari terlihat di pinggiran Bundaran HI. Alasan mereka berdemo beragam. Menuntut janji presiden, janji pengusaha untuk upah yang layak, mengecam pornografi dan lain sebagainya. Namun, tempat yang mereka pilih sama, yaitu Bundaran HI.

Bundaran HI sendiri tidak dikelilingi kantor-kantor Pemerintahan. Namun, bagi mereka, Bundaran HI adalah tempat yang tepat untuk menyuarakan aspirasinya. Ruang terbuka, yang dilintasi ratusan orang setiap harinya, tentu akan tepat untuk menarik perhatian di sana. Akan banyak mata melihat, reporter meliput, serta pejabat pemerintahan yang mendengar. “Kalo di sini kan banyak yang lihat”, ucap Pak Sunaryo, Danton I pos polisi Thamrin, yang biasa mengawasi demo di sini.

“Kalo di sini kan ruang terbuka, kalo di Monas mah banyak pagar-pagarnya, siapa juga yang akan lihat”, ujar Mas Yayan yang ditanyai perihal pendapatnya mengenai para demonstran di Bundaran HI.

Selain aksi penuntutan, aksi-aksi Damai seperti Kampanye anti seks bebas pun diselenggarakan di Bundaran HI. Aksi yang menyerukan agar generasi muda dan masyarakat secara umum menjauhi free sex ini diatur sedemikian rupa agar lancar dan tidak menyebabkan kemacetan.

Bundaran HI seperti menjadi wadah spesial untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Apa pun aspirasinya. Penuntutan, himbauan, hingga seruan putus cinta. Seorang pria bule bernama James Mathew berenang mengelilingi kolam bundaran HI sambil menyerukan nama seorang gadis. “Eni, Eni, Eni”. Hal ini terjadi bertepatan dengan aksi massa memprotes setahun Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu, 20 Oktober 2010.

Tempat berkumpul para demonstran rupanya juga menjadi tempat berkumpul para fotografer. Bila para demonstran memilih di sekeliling kolam, para fotografer memilih lebih menepi ke jalan Sutan Syahrir. Tepat di samping pos Polisi Thamrin, terdapat sebuah warung kopi dan jejeran para penjual makanan. Bukan Allan dan teman-teman fotografer muda nya yang ada di sana, melainkan para fotografer senior.

Di siang hari yang cukup terik menjelang sholat Jum’at, Lebih dari sepuluh orang-orang membawa tas besar berkumpul di sana. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki. Hanya terlihat dua perempuan di sana sedang mengutak-atik laptopnya seraya berteduh di bawah pohon rindang. Pria-pria di sana ada yang sibuk menikmati hisapan rokoknya, berbincang dengan seorang pria lainnya, ada juga yang berkumpul tertawa bersama dengan pisang goreng di tangan kanannya.

Perkumpulan orang-orang bertas besar itu rupanya adalah wartawan foto berbagai media. Media cetak dan online. Kamera DSLR dan berbagai aksesorinya lah yang ternyata menjejali tas para fotografer tersebut. Perkumpulan para wartawan foto ini dimulai tahun 2009. Pada masa itu, ada banyak warung bermunculan di jalan Sutan Syahrir. Nasi Padang, Soto ayam, minuman, dan lain sebagainya. Namun sekarang, hanya tersisa satu warung kopi ditemani beberapa penjual makanan dengan gerobak. “Kalo dulu, di sini banyak warungnya. Sekarang tinggal satu”, cerita Pak Hartono, wartawan foto bidang Ekonomi.

Pak Hartono adalah fotografer dari media IndoPos yang sengaja beristirahat di warung kopi seberang Bundaran HI. Ia memilih tempat ini karena lokasinya yang berada di tengah kota. Sehingga akses untuk kemana saja menjadi lebih mudah. Mengingat, profesinya adalah seorang wartawan. “Kalo sini kan tengah, jadi kita kalo ada panggilan, gampang aksesnya”, ucap Pak Hartono menceritakan kisah dirinya dan teman-teman fotografer seperjuangan.

Rupanya tempat berkumpul ini juga dilengkapi fasilitas Wi-fi yang didapat dari kantor subsektor pos polisi Thamrin yang memang tepat berada di sebelahnya. Para Wartawan foto yang bekerja untuk media online menjadi lebih mudah untuk mendapatkan akses internet. Pekerjaanya untuk meng-upload berita pun tetap berjalan sekalipun ia sedang bersantai di warung kopi.

Kisah perkumpulan para wartawan foto ini mungkin hanya menjadi seberkas kecil kisah berlatar Bundaran HI. Tentu, banyak lagi kisah-kisah lain yang terjadi di bundaran HI ini. Setiap detik, menit, jam, dan harinya, Bundaran HI menghadirkan cerita. Terlebih bagi Pak Herman dan Rekannya, yang memang bertugas men-secure bundaran tersebut. Pak Herman bahkan bercerita tentang gadis misterius yang suka secara tiba-tiba muncul di sekitar kolam. Gadis itu muncul di antara jam 00.00 – 05.00 a.m. Gadis itu muncul, mengejutkan manusia yang melihatnya, lalu dengan seketika menghilang.

“Pernah tiba-tiba muncul dari arah hotel menyebrang menuju kolam, terus tahu-tahu menghilang”, cerita Pak Herman yang seketika membuat penulis merinding saat mendengarnya.

Kemacetan, demo dan aksi, car free day, perkumpulan fotografer, hingga cerita hantu, semua terkisah dari bundaran yang terletak di Jantung Kota Megapolitan ini. Bundaran yang pada awalnya didirikan sebagai patung penyambut para atlet Asian Games, kini telah bermetamorfosa menjadi ikon ibukota dan memiliki makna lebih dari sekadar patung selamat datang.

Lokasinya yang berada tepat di tengah Jakarta, menjadikannya titik yang selalu dipadati kendaraan. Keberadaannya di ruang terbuka, menjadi alasan terpilihnya ia sebagai tempat berdemo yang strategis. Landasan kolam, air mancur, deretan gedung pencakar langit serta lampu-lampu yang berpendar tak lelah membuatnya gemerlap di malam hari. Dulu, sekarang, hingga nanti, Bundaran HI akan tetap menjadi saksi bisu yang merekam berbagai kisah yang tengah terjadi di kota Jakarta.

"Bundaran HI" part 6

Kalo yang lupa part 5 nya kaya apa, coba dibaca dulu di link berikut http://www.facebook.com/note.php?note_id=497893999388. Kalo udah, ini dia lanjutannya…

Aku sibakkan gorden jendela kamarku. Cahaya matahari menelusup masuk. Ada seorang pria berdiri di sana. Ia melambaikan tangan seraya tersenyum. Ah! Aku segera berlari keluar kamar menuju pintu masuk rumah. Dan ketika ku buka pintunya.
“Taraaaaaaaaaam..! Hallo Ney! Apa kabar?”
“Kamu kok bisa ada di sini?”
“Iya, lagi liburan. Kaget banget gitu sih? Seneng kan aku datang? Hahaha”
“Hm,,iya seneng”, jawab ku datar. “Ayo masuk”

Tarra. Iya kembali dari Amerika. Caranya kembali begitu aneh. Mengapa tiba-tiba mengetuk kaca jendela kamarku? Tidakkkah ia tahu, hal ini membuatku berharap Fahrezi yang datang? Ia menyadarkanku, Fahrezi tak mungkin datang. Ia sudah pergi, bahkan tak pernah ada dalam dunia nyata. Ia Andi yang memainkan peran sebagai Bundaran HI-ku.
“Ney, kamu apa kabar?”
“Seperti yang kamu lihat.”
“Masih nunggu dia?”, pasti yang Tarra maksud adalah Fahrezi.
“Hm…” Aku menundukkan wajah ku.
“Kamu setia banget ya sama dia. Kamu buat hati aku sakit tau.”

Aku terdiam mendengar ucapan Tarra. Aku sungguh minta maaf karena telah membuatmu menunggu Tar. Aku sungguh tidak bermaksud jahat.
“Tapi sekarang udah gapapa kok. Ney, ikut aku yuk!”
“Mau kemana?” tanyaku heran.
“Udah ayo, ikut aja!”

Mobil Tarra sudah melaju selama 20 menit. Kami memasuki pusat kota Jakarta.
“Tar, kita mau kemana sih?”
“Ke Hotel”
“Hah? Ngapain???”
“Entar juga tau!”
“Jangan macem-macem ya Tar”
“Iya,iya. Hahahah”

Bundaran HI. Kenapa mesti lewat sini sih? Sebenarnya mau apa si Tarra ini. Aku abaikan rasa penasaranku. Ku pandangi setiap air mancur yang ada di kolam bundaarn itu. Menyejukkan. Bundaran ini masih tetap baik-baik saja. Patung nya masih berdiri tegak melambaikan tangan. Kolamnya pun masih tetap dihiasi dengan air mancur. Lalu lintasnya masih tetap padat seperti biasa. Si Bundaran HI-ku juga pasti sedang baik-baik saja. Aku tak habis pikir mengapa ia setega ini terhadap ku.

Kami memasuki hotel berbintang di kawasan Bundaran ini. Lalu kami duduk di salah satu restorannya. Tarra terlihat sedang mencari seseorang. Ia menebarkan pandangannya ke sekeliling restoran.
“Nah, itu dia!”. Tarra melambaikan tangan kepada seseorang yang baru saja memasuki restoran.
Orang itu mendekat. Tarra menyambutnya dengan peluk dan cipika-cipiki ala orang Barat. Ia duduk di sebelah Tarra.
“Ney, kenalin! Ini Vina. Pacar aku, kita kenalan di Amrik”
“Vin, ini Neysha. Teman yang sering aku certain ke kamu”

Tarra sibuk mengenalkan kami berdua. Aku menyambut hangat jabat tangan Vina. Wanita lembut nan cantik yang berpakaian sangat matching. Jinsnya yang ketat senada dengan warna tas nya yang buatan Italia. Blouse longgar yang memperlihatkan bahu sebelah kanannya sangat match dengan warna high heels yang dikenakannya. Rambutnya yang dicat brown tergerai indah dengan sedikit gelombang di bagian bawahnya. Warna softlense nya begitu senada dengan rambut indahnya. Dia benar-benar “Miss Matching”.

Kami menghabiskan kurang lebih satu jam untuk berbincang. Aku mengucapkan selamat atas kebahagiaan mereka. Ternyata Tarra sudah tidak menunggu ku. Maksud ia mengajakku ke sini rupanya untuk mengenalkan ku pada Vina. Entah apa maksudnya. Yang jelas, ia sekarang sudah memiliki kekasih. Aku pamit pulang pada mereka berdua. Tarra bermaksud mengantarku kembali pulang, tapi aku menolak.

Aku berjalan kaki ke luar hotel. Aku tak langsung naik taksi yang tersedia di depan lobby hotel. Aku ingin berkeliling sejenak mendekati Bundaran. Seraya berjalan di bawah kolong langit ini, aku berpikir. Aku mereview kejadian-kejadian hari ini. Fahrezi telah mati. Tarra kembali lalu pergi lagi. Ia hanya numpang lewat.

Aku menerka-nerka apa alasan Andi berlaku seperti ini. Mengapa ia tega sekali membuat identitas palsu dan berpura-pura mencintaiku. Aku kira hanya ada dua kemungkinan mengapa terjadi hal seperti ini. Pertama, Andi adalah seorang Playboy kelas kakap, yang sangat ahli menipu wanita. Atau yang kedua, Andi adalah seorang Psychosis yang tak pernah merasa bahwa dirinya telah melakukan kesalahan.

Aku segera mengambil HP di dalam tas ku. Terlintas suatu ide dalam benakku. Jari-jari ku bergegas mengetikkan nama itu. MOHAMMAD FAHREZI AMARA. Ku kirim ke nomor handphone Andi. Message delivered.

Tak lama kemudian, satu pesan masuk inbox-ku. Dari Andi. “Ada yang bisa saya bantu, Mas?” Aku balas, “Ini Fahrezi kan?”. Sms kembali masuk. “Maaf, saya bukan Fahrezi”. Smsnya membuatku geram. Ia masih saja tak mengaku siapa dirinya. Padahal aku sudah tau siapa dia. Aku katakan, “Oh, tentu saja. Fahrezi tidak kuliah di Bandung!”. Tak ada lagi sms balasan. Sungguh tega si Andi ini. Darah ku seakan naik ke otak. Aku begitu kesal. Cinta yang selama ini ku beri, dibalas dengan kedustaan yang sungguh menjijikan.
*

Aku sampai di rumah. Segera ku buka kotak yang berisi segala macam benda yang menyimpan kenangan ku dengan Fahrezi. Ada foto-foto ia di sana. Tersenyum khas dengan gigi gingsul nya. Aku tak tahan melihat senyuman ini. Tangan ku bergetar. Air mata siap meluncur deras ke pipi ku. Tapi ku tahan. Aku harus kuat.

Aku cabik-cabik semua foto dan tulisan-tulisan tangannya yang ku simpan rapi di kotak itu sejak dahulu kala. Tangan kanan ku sudah siap dengan sebuah korek api gas. Tangan kiri ku yang memegang sobekan itu terasa berat untuk mendekatkannya ke api. Aku membakarnya. Ku lihat wajahnya hangus bersama api. Entah perasaan macam apa yang ada di hati ku saat ini.

Di luar hujan begitu deras. Percikan airnya seakan menertawakan kebodohanku yang tertipu pangeran bertopeng dusta. Ku buang sisa bakaran ke luar. Ia terbawa aliran air hujan menjauh dari diri dan hidup ku. Bakaran itu mnyimbolkan semua kenangan ku tentang nya. Bakaran itu juga sebagai penanda berhentinya penantian ku selama lebih dari lima bulan. Ku biarkan seluruh tubuh ku basah oleh air hujan, agar tak ada yang tahu bahwa air mata ku mengalir bersama hujan ini.
*

Hari-hari berlalu. Sudah setengah tahun sejak pembakaran di malam itu. Cinta ku telah mati. Hati ku beku bersama jalannya waktu. Aku tak pernah lagi mencoba menghubungi Andi. Aku hapus nomor handphone nya. Aku block akun facebooknya. Aku tutup semua akses untuk mengingatkan ku padanya.

Sampai saat ini, aku tak tahu apa alasan Andi berpura-pura menjasi Fahrezi. Apa alasannya memiliki dua identitas. Bagaimana ia bisa menjalani hidup sebagai dua orang yang berbeda. Bagaimana juga ia berpura-pura begitu manis di depan ku. Entahlah. Yang pasti aku tahu. Aku pernah mencintainya. Mencintainya dengan segenap perasaanku. Tapi mungkin ini hanyalah cinta sendiri. Bukan cinta yang betepuk dengan kedua tangan, karena nyatanya Fahrezi adalah Andi. Andi yang telah memiliki Tia di dalam hidupnya. Terkadang, kita memang harus menerima bahwa ada rahasia di balik rahasia. Namun aku tetap yakin, setiap hal yang terjadi pasti menyimpan hikmahnya tersendiri.

Saat ini, aku sedang menyibukkan diri dengan pekerjaan freelance ku. Masi di redaksi majalah yang sama. Kali ini, aku mendapat tugas meliput komunitas sepeda yang berkumpul setiap minggu di Bundaran HI. Awalnya, aku keberatan karena aku harus melihat kembali bundaran itu yang bisa saja menguak kembali memori menyakitkan yang ku punya. Tapi, ini tugas dan aku harus professional. Aku rasa, setengah tahun sudah cukup untuk ku menyembuhkan luka. Aku harus bisa. Seorang penulis, tidak boleh kalah dengan traumanya.

Matahari mulai bergerak ke atas kepala. Aku harus berdamai dengan cuaca seperti ini. Banyak orang terlihat memadati bundaran yang satu ini. Mereka sibuk dengan sepeda nya masing-masing. Banyak juga yang sibuk dengan kamera DSLR nya. Oh,,Nikon D40x. Kamera kesayangan Fahrezi. Aku memandangi orang-orang yang membawa kamera itu dari kejauhan. Kebanyakan dari mereka masih muda. Mungkin seumuran dengan ku atau bahkan lebih muda.

Ada seseorang berpostur tubuh tinggi dengan badan yang agak kurus tak jauh dari tempat ku berdiri. Postur tubuhnya mirip sekali dengan si Bundaran HI. Ia mengenakan celana jins panjang dan jaket hitam. Rambutnya tidak pemdek cepak, melainkan agak sedikit panjang. Aku tak bisa melihat tampak depannya, ia sedang sibuk memotret gedung-gedung tinggi di sekitar bundaran. Ia berjalan mundur perlahan. Selangkah demi selangkah semakin mendekat ke arah ku. Aku hanya diam. Tubuh ku seakan terpaku di titik itu.

“Bruuuk.”
Ia menabrak ku yang tepat berada di belakangnya. Aku mengenali aroma parfumnya. Ini aroma Bvlgari Extreme yang sudah lama ku buang jauh dari hidup ku. Jantung ku berdegup kencangnya. Saking kencangnya, mungkin lelaki itu pun bisa mendengar suara degupannya.
“Eh, sorry.sorry..”, Ia membalikkan badan seraya membenarkan tas yang hampir jatuh dari lingkaran bahunya. Wajahnya tepat berada di hadapan ku. Dan ……………
#siap dengan kejutan berikutnya????? THE END.

Hahahahahah….
:D Akhirnya selesai juga cerbung yang satu ini. Sungguh menguras emosi menuliskan cerita di atas. Bikin gak mau makan kecuali lapar, dan gak mau tidur kecuali ngantuk *Bang Dika banget nih. Hahah

Terimakasih buat kalian semua yang udah bersedia baca. Maaf udah nunggu lama. Maaf juga, kalo endingnya gak sesuai yang kalian harapkan. Tapi, saya punya alasan sendiri kenapa memilih ending seperti ini. Terimakasih buat sahabat saya Nova yang banyak sekali memberi masukan sebelum saya menuliskan ini. Tapi maaf ya nov, ide gila yang luar biasa itu gak saya masukin di cerita ini. Hehe. Makasi juga buat Bahja dan Novi yang sering kasi saya semangat untuk menulis. And thanks for all of you guys, yang gak bisa disebutin satu-satu. Tunggu karya saya selanjutnya ya! 

"Bundaran HI" part 5

“Malem, ini Andi ya? Kalo mau mesen kaos, gimana ya?”, Dina mengawali sms nya.
“Iya mba Noni. Maaf tadi keputus ya chatnya.”, Andi menjawab pesan. Mba Noni?? Membingungkan. Mungkin Andi sedang chat dengan salah satu pelanggannya.
“Bukan. Ini gue Ririn. Lo kuliah di Bandung kan? Gue juga di Bandung. Kalo mau pesen kaos gimana ya?”. Dina sengaja menyembunyikan identitasnya. Karena bila benar Andi adalah Fahrezi, maka dia akan mengetahui bahwa yang mengirim pesan adalah Dina, sahabatku. Untung saja Dina baru mengganti nomor handphonenya. Jadi, bisa dipastikan Fahrezi tidak akan mengenali Dina.

Tik..tik..tik… Waktu terus berdetik. Namun, Andi yang diduga sebagai Fahrezi tak kunjung menjawab sms Dina. Tidak jelas kenapa. Ah, yasudahlah. Lagipula malam telah larut, saatnya aku mengistirahatkan seluruh tubuh ku ini.

And,, the morning has come.
Seperti biasa aku menyukai pagi hari. Pagi mampu membuatku merasa rileks. Hari ini aku kuliah siang. Masih ada waktu untuk menyusuri fakta mengenai “Bundaran HI”. Aku buka kembali layar Serra sebagai pembuka, kemudian ku tancapkan papan Surf bermerk Smart ke bagian samping kirinya. Kini, Aku siap berselancar di dunia maya.

Aku search akun FB Andi, tertulis disitu “friend request sent”, ah, aku ingat. Aku telah mengirimkan friend request untuknya semalam, jika ia benar adalah Fahrezi, tentu ia mengenali ku, dan pastinya ia tak akan mau kebohongannya terungkap. Pantas saja, ia tidak menjawab lagi sms Dina semalam, mungkin ia telah membuka list friend request nya. Bodoh sekali aku ini.

Aku klik ketiga link yang ada pada tab yang berbeda. Satu, FotoTerlalu. Masih belum ada yang berubah di halaman blog ini. Dua, blog galeri foto. Foto-foto yang terpajang juga masih sama. Tiga, Blog pribadi Andi. Halaman beranda masih tetap sama dengan tadi malam. Aku terus membaca postingannya hingga ke bagian bawah, dan terdapat banner Postingan Lama. Aku klik banner tersebut. Jeger. Serasa ada petir menyambar. Hatiku serasa ditikam pisau yang sangat tajam. Terasa sakit sekali. Begitu sakit hingga ku meneteskan air mata.

Di foto keempat, nampak wajah si “bundaran HI” dengan pose senyum yang semakin menampakkan ketampanannya, juga khas dengan gigi gingsulnya. Tangannya melingkar pada bahu seorang wanita berwajah innocent. Berpakaian modis, dan terlihat sangat manis. Bukan. Itu bukan Aku. Dia adalah wanita lain bernama Tia. Terdapat tulisan di setiap foto tersebut. Foto pertama bertuliskan “T”, kedua “I”, ketiga “A”, dan terakhir “You and Me =)”. 18 Oktober, tanggal postingan foto tersebut.

Semua sudah jelas sekarang. Andi adalah Fahrezi. Mereka adalah satu orang yang sama. Foto ini seolah membunuhku. Menusuk jantung ku begitu dalam hingga ku tak kuat menahan sakitnya. Mata ku seolah tak mampu menatap lebih lama ke layar Serra. Keindahan pagi seketika berubah menjadi malam pekat. Aku menangis sejadi-sejadinya. Sesegukan, hingga badan ku terasa kaku dan gemetar. Semua kenangan bersama Fahrezi berputar pada proyektor otak ku. Baik kenangan saat kita bersenda gurau atau pun saat aku risau dan rindu menanti kabarnya sepulang dari project di luar kota. Entah berapa menit yang aku habiskan untuk meratapi kebodohanku ini. Yang jelas, badan ku terasa lemas sekali, hingga aku pun tak kuasa menekan tombol HP untuk menelpon Dina.

Kenyataan memang pahit. Pahit sekali, jauh lebih pahit dari obat yang harus ku konsumsi setiap hari. Namun, akan lebih sakit jika aku tak pernah mengetahuinya.
Waktu terus berputar. Rasa penasaran kembali merasuk pikiran ku. Aku merasa perlu mencari lebih lanjut tentang Andi dan Wanita itu. Aku ingat ada satu link di blog Andi yang belum aku buka. Twitter. Aku klik link nya. OMG. Avatar di akun tersebut sama persis dengan foto Fahrezi yang terpasang di background laptop ku. Design background akun tersebut adalah foto seorang wanita bersama pria yang mengenakan kaos yang sama. Kaos hitam dengan gambar kamera di bagian depannya. Hanya saja, bagian leher ke atas di-crop, sehingga tak terlihat wajahnya. Namun, aku bisa memastikan, pria dan wanita di foto tersebut adalah Fahrezi dan Tia.

Tweet terakhir Andi adalah dua hari yang lalu. “Jatinangor mati lampu”. Hm,, dia kost di daerah Jatinangor, Bandung. Aku baca tweet-tweet nya beberapa hari dan minggu yang lalu. Semua menunjukkan dia baik-baik saja. Sehat wal’afiat dan tetap ceria. Aku tidak tahu harus senang atau sedih melihat keadaannya sekarang ini. Dia sehat, sesuai sekali dengan do’a ku selama ini. Tuhan menjawab do’a ku untuk menjaganya dengan baik, bahkan baik sekali. Hingga ia tetap tersenyum dan berkarya. Namun, di lain sisi, hatiku tersayat, tercabik-cabik tak karuan.

Luar biasa sekali Andi menghidupkan sosok Mohammad Fahrezi Amara yang begitu sempurnna di mata ku. Yang seakan menjadi dunia ku, sumber inspirasi ku, dan pemicu senyum ku di setiap pagi. Bukan satu atau dua bulan Andi memainkan peran itu. Tapi bertahun-tahun! Tak ada yang terlihat aneh dari hubungan ku dengan nya selama ini. Hanya saja secara tiba-tiba ia menghilang untuk mengakhiri semuanya.

26 Juni, saat ia mengutarakan cinta nya pada ku. Menuliskan symbol hati di jendela kamar ku yang berembun. Hari itu, hari ulangtahun ku tepat yang ke-18 tahun. Aku baru saja membuka mata ku dari tidur yang sangat nyenyak. Seseorang mengetuk jendela kamarku, lalu aku mengibaskan gorden yang menutupinya. Terlihat si “Bundaran HI” di situ dengan kaos lengan panjang yang tergulung seperdelapannya serta celana jins. Membawa seikat bunga mawar merah nan cantik seraya tersenyum, tampan sekali. Kemudian ia menghembuskan nafasnya di kaca jendela, dan melukiskan symbol “love”. Pagi yang sempurna.

Mohammad Fahrezi Amara. Dengan tiga huruf M di bagian pertama namanya. Aku tak boleh sedikit pun salah menyebut atau mengetikkan nya dalam chat. Ternyata, nama itu hanya nama palsu. Nama yang tak pernah ada sosok nyata nya di muka bumi ini. Nama fiktif ciptaan sang Andi. Aku tak tahu lagi mana yang berupa kebenaran dalam seluruh kisah ku dengan Fahrezi. Nama, tanggal lahir, tempat kuliah, semuanya palsu. Bagaimana dengan kisah tentang keluarganya yang tinggal di luar kota, dengan kisah perjuangannya untuk hidup mandiri, apakah itu semua juga kebohongan? Bagaimana dengan cinta nya pada ku? Ah, apakah aku masih pantas menyebutnya dengan sebutan Cinta?

Pangeran ku telah terbunuh. Oh bukan terbunuh, tapi dibunuh sang Raja Pendusta. Pangeran yang begitu sempurna dan mampu memesonakan semua mata, seketika mati. Mati di tangan Andi si pendusta.

mengapa bayangan mu tak kunjung muncul di bawah sinar yang cerah?
mengapa dering indah juga tak kunjung terdengar dari telepon genggamku?
mengapa pula tak ada satu pun pesan dalam kotak suratku?
bahkan namamu tak dapat lagi ku temukan dalam daftar panjang pengguna jejaring itu
mengapa?

dimana kah sosok mu?
di mana kau sembunyikan segala keindahan itu?
di mana kau simpan rapat rasa itu?
rasa yang sempat engkau singkap keberadaannya
di mana?

kemana akan kau bawa segala memori itu?
kemana kau buang sosok pangeran itu beserta kudanya yang tangguh?
kemana lagi kau akan tunjukan potret lain dirimu?
kemana?

“Tok,,tok,,tok”, seseorang mengetuk kaca jendela ku.
Siapa gerangan yang mengetuknya? Apakah aku bermimpi? Aku cubit pipi ku. Ah, sakit. Ini kenyataan. Mengapa seperti de javu dari tanggal 26 Juni? Siapa di sana?

*to be continued
Hehe,, ini pasti part yang ditunggu-tunggu ya, untuk tahu siapa gerangan Fahrezi itu. Semoga tidak kecewa dengan jalan cerita di atas ya. Tunggu kelanjutannya! :)
Baca sebelumnya http://www.facebook.com/note.php?note_id=496219354388

"Bundaran HI" Part 4

Berulang kali aku pandangi hasil pencarian googlesearch. Baru dibuka jurusan Komunikasi tahun 2010. Oh God,, apa-apaan ini? Jika benar ini adalah kebohongan, maka ia telah merusak segalanya.

Jam 9 malam, aku sampai di rumah. Aku hubungi teman ku yang juga berkecimpung di dunia fotografi. Aku tanyakan padanya apa saja group-group fotografi yang ada di jejaring facebook. Kemudian dia menyebutkan satu nama group yang sepertinya telinga ku tidak asing mendengarnya. “FotoTerlalu”. Aku pernah melihat tulisan ini di salah satu hasil jepretan Fahrezi. Di balik foto tersebut, tertuliskan “Terlalu”. Yap, one new clue! I got it. Thanks for my friend.

Dengan agak tergesa-gesa aku login akun facebook ku. Berjuta rasa penasaran berkelebat di pikran ku, agak sedikit dag dig dug berdebar jantung ku karena cemas. Langsung aku search Group tersebut. Ketemu! Aku baca perlahan setiap deskripsinya, aku perhatikan wajah-wajah para membernya. Hap, mata ku tertuju pada nama admins pendiri group ini. Ada dua nama di situ. Rezki dan Andi.

Aku klik di bagian nama Rezki, terpampang jelas profilnya. Ah, dia bukan Bundaran HI yang aku cari. Tak apa, aku add saja dia sebagai friend. Selanjutnya aku klik pada bagian Andi. Profilnya disembunyikan, hanya sedikit info dan foto profil di situ. Fotonya pun tidak jelas, bukan sesosok wajah yang terlihat di sana. Hanya sebuah gambar abstrak. Di bagian info, aku baca music favoritenya, Secondhand Serenade, Rocket summers, …. . Ah cukup, mengapa yang disukanya sama dengan Fahrezi. Siapakah gerangan Andi ini? Aku add saja dia.

Terdapat beberapa link di profil Andi, 3 alamat blog. Aku klik link-link tersebut. Pertama, blog “FotoTerlalu”. Di blog tersebut terdapat berita-berita pameran fotografi, pengumuman lomba, serta ada juga postingan yang menjajakan dagangan berupa kaos hasil design Rezki dan Andi. Yaampun, itu design kaos yang pernah Fahrezi tunjukan padaku. Ah, mengapa banyak kesamaan?? Aku catat saja nomor handphone Rezki dan Andi yang terpajang di sana.

Link kedua, blog pribadi Andi. Banyak tulisan di halaman berandanya. Yang paling atas mengenai selesainya proses ospek di kampus tempatnya berkuliah. Oh tidak, dia bukan mahasiswa baru. Dia adalah panitia yang bertugas, kuliahnya sudah mencapai semester akhir dan sedang sibuk menulis skripsi. Itulah deskripsi yang tergambar dari tulisannya. Berbeda sekali dengan Fahrezi yang baru kuliah satu tahun setelah ia lulus. Seharusnya ia kuliah tahun 2007, namun karena ia ingin kuliah dengan biayanya sendiri, maka selama satu tahun ia berjuang menjadi fotografer dan designer kaos. Tahun 2008, baru ia mendaftar kuliah di jurusan komunikasi. Andi berbeda dengan Fahrezi. Oke, itu kesimpulan sementaranya.

Aku membuka profil si pemilik blog. Dituliskan, Andi adalah seorang mahasiswa ilmu komunikasi di salah satu Universitas terkemuka di Bandung. Bandung? Ah, jauh sekali dengan ku yang di Jakarta. Aku lihat foto profilnya. Lagi-lagi tidak begitu jelas. Ah, mengapa misterius sekali Andi ini. Ada link ke akun twitter milik Andi. Ah, nanti saja aku melihatnya.

Aku buka link ketiga di tab lain. Sebuah blog yang isinya galeri foto. Terlihat banyak hasil foto di situ. Beberapa hasil editan juga sepertinya. Semuanya begitu indah dan berwarna. Aku klik page demi page galeri foto yang ada di akun tersebut. Sampai kepada halaman ke-7, ada satu foto seorang pria di situ. Latarnya sebuah pantai yang bersih dan sangat indah tentunya. Pria itu merentangkan kedua tangannya seraya tersenyum. Aku tidak mungkin lupa dengan wajah tersebut. Ya, wajah sesosok pria yang selama ini aku nanti. Fahrezi. Mengapa ada foto Fahrezi di sini? Ini akun milik Andi. Apa hubungan antara Rezki, Andi, kemudian Fahrezi? Terutama Fahrezi dan Andi, mereka memiliki banyak kesamaan. Suka fotografi, bisa mendesign kaos, menyukai jenis musik yang sama, ah apakah mereka orang yang sama? Tapi mengapa berbeda identitas?

Waktu menunjukan pukul 23.30. Mata ku sudah lelah sekali. Aku cukupkan berseluncur di dunia maya malam ini. Aku sudah mencatat nomor handphone Andi dan Rizki.
“tuut…tuut…”, nada tersambung.
“hallo”, suara Dina di seberang sana, sahabat karibku.
“hallo din, lagi apa? Mau cerita doongg..”
“lagi baca buku, ada apa ney?”, jawab sahabatku yang memang hobi membaca buku.
“gue nemuin beberapa keanehan soal Fahrezi nih”
“kenapa, kenapa?”, dia seperti sudah tak sabar mendengarkan. Langsung saja aku ceritakan semua yang aku temukan hari ini mengenai si “Bundaran HI”, termasuk megenai Andi si Misterius.
“jadi gitu din ceritanya, lo mau bantuin gue nggak?”
“apaan?”
“coba lo sms si Andi, pura-puranya lo mau mesen kaos. Mau ya?”
“oh, okee..”
“yaudah gue tutup dulu teleponnya, ntar kasitau gue ya apa jawabannya”
“siip”
Telepon diputus. Kira-kira apa jawaban si Andi itu?

*to be continued
Heheh,, maaf ya masi bersambung lagi. Jangan bosan mengikuti ceritanya ya! :D
Baca juga part 3 nya http://www.facebook.com/note.php?note_id=475218699388

Kamis, 19 Mei 2011

This is so sad

Tak bisa dipungkiri, bahwa sampai saat ini pun, perasaan itu masih ada.
Meskipun kau tetap enggan sekalipun hanya untuk menatap ku.
Mungkin kau pun tak akan pernah merasa kehilangan.
Sekali pun aku pergi jauh dari kalian.
Satu, dua, tiga, bahkan tujuh hari pun, ku yakin kau tak akan menanyakan keadaan ku.
Entah apa yang membuat mu seperti itu.
Mungkinkah kerasnya batu telah mengkontaminasi hatimu?
Mungkin juga kencangnya angin telah merancukan keberadaan ku di sekitar mu?
Menyedihkan!
Satu kata yang aku sampaikan untuk diriku sendiri.

identitas

Aku sudah di sini.
Di kota, tempat mu mengenyam pendidikan.
Tempat mu mengembangkan kreativitas, hingga menjadi orang yang handal.
Keberadaanku di sini membuatku merasa semakin dekat dengan jejak-jejak mu.
Keseharianmu. dan segala tentangmu.
Tiap jalan yang ku lewati, ku pastikan juga pernah kau lewati.
Tapi ini hanya sebuah jalan di lalu lintas.
Bukan jalan hidup kita.
Kita sudah terpisah, tanpa pernah utuh tersatukan.
Bukan jarak yang menjadi masalah.
Bukan juga kepribadian satu sama lain.
Melainkian sebuah identitas.
Identitas yang menghancurkan semua citramu yang sempurna di mataku.
Identitas palsu.
-Bandung, Maret 2011-