Jumat, 07 Januari 2011

Misteri Euthanasia

MISTERI EUTHANASIA
Oleh Nadia Nurfadilah

Tahukah anda bahwa saat ini terdapat pembunuhan yang dilegalkan? Euthanasia. Itu lah jawabannya. Seorang dokter diperbolehkan membunuh pasiennya sendiri. Hal ini masih menjadi kontroversi yang belum berujung.

Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di Negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup.(wikipedia.org/euthanasia). Kasus ini merupakan contoh euthanasia pasif.

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, Eu yang berarti baik, dan Thanatos yang berarti kematian. Dapat dikatakan, Euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian atau mengakhiri hidup seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, yang dilatarbelakangi rasa kasihan untuk meringankan penderitaan si sakit.

Dalam praktiknya, dikenal dua macam euthanasia,yaitu euthanasia aktif, dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif, ialah kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perkiraan/perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah.

Sedangkan Euthanasia pasif ialah kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contohnya, penghentian pemberian nutrisi, air, dan bantuan pernafasan. Tindakan dokter ini dilakukan pada pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.

Pro Kontra Euthanasia

Tindakan euthanasia ini, tentu saja mendapat tanggapan yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Kelompok-kelompok yang pro terhadap tindakan euthanasia menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Terlebih lagi melihat hak keluarga si pasien yang harus dikedepankan. Bahwa, mereka akan terbebani oleh biaya perawatan si pasien yang sudah tidak ada kemungkinan sembuh. Mereka juga berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral.

Sedangkan kelompok yang kontra terhadap tindakan euthanasia menekankan bahwa tindakan ini kontradiktif terhadap kode etik kedokteran. Dokter yang dituntut meringankan beban penderitaan pasien, malah melakukan tindakan yang menghilangkan nyawa si pasien tesebut. Dalam perundang-undangan pun, tindakan menghilangkan nyawa seseorang termasuk tindak pidana, yang dilarang di Negara mana pun.

Penulis sendiri menilai, dengan adanya euthanasia, akan menciptakan suatu paradigma di mana sang pasien adalah beban yang sangat berat, dan solusi untuknya sudah sangat jelas, yaitu dia harus mati dengan euthanasia. Tentu saja ini sangat bertentangan dengan tugas dokter yang sebenaranya. Dalam pengobatan, dokter harus berusaha menyembuhkan penyakit yang diderita si pasien. Tentu saja dibarengi dengan motivasi agar si pasien tetap menjalanai hari-harinya seperti orang normal. Akan tetapi, dengan adanya euthanasia ini, dokter seakan menawarkan cara pintas untuk bunuh diri kepada pasiennya sendiri.

Tindakan euthanasia juga menggambarkan tidak adanya dukungan sosial bagi si pasien, kurangnya perawatan kesehatan, dan depresi. Pasien yang sudah terbebani dengan penyakitnya, masih harus terbebani dengan bayang-bayang bahwa orang-orang di sekitarnya ingin ia cepat mati. Para aktor dalam dunia kesehatan yang seyogyanya memberikan perawatan pada yang sakit, malahan menciptakan suatu shortcut agar tak usah lagi merawat pasien yang sudah parah penyakitnya. Tentu saja ini menunjukan ke-depresi-an dari berbagai pihak. Pasien depresi karena tidak lagi mau berharap sembuh, Dokter dan antek-anteknya depresi karena tidak lagi berusaha ‘menyembuhkan’ sang pasien. Begitu pun, masyarakat dalam hal ini keluarga dapat dikatakan depresi karena tega membiarkan salah satu anggotanya dihilangkan nyawanya tanpa berusaha disembuhkan terlebih dahulu.

Dalam kasus euthanasia sukarela (mendapat izin terlebih dahulu dari sang pasien), kita juga tidak bisa semerta-merta mengatakan ini bukan tindakan membunuh, karena telah mendapat izin dari ‘yang mau dibunuh’. Namun, kita perlu melihat lebih dalam, apa yang salah dalam kasus ini. Para kelompok pro euthanasia mengatakan pasien harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Memilih cara euthanasia adalah otonomi dari sang pasien. Artinya, pasien sendiri yang menghendaki dirinya di-euthanized.

Louis Leahy dalam bukunya Manusia Sebuah Misteri menjelaskan bahwa kehendak cenderung ke arah suatu kebaikan yang disajikan oleh inteligensi. Dan sebagaimana inteligensi mengerti bahwa dia mengerti, demikian pula kehendak menghendaki kehendaknya. Kalau manusia mengambil suatu keputusan bebas, dia benar-benar sadar bahwa dialah yang mengambil keputusan itu. Akhirnya, bukanlah inteligensi yang mengenal, juga bukan kehendak yang berkehendak dan memilih, tetapi manusialah yang mengenal melalui inteligensinya dan yang berkehendak dan meilih melalui kehendaknya.

Dalam kasus euthanasia sukarela ini, apakah sang pasien benar-benar berkehendak dirinya di-euthanized? Dan apakah kehendak tersebut sudah diiringi oleh pengenalan intelegensi yang baik? Tidak jawabannya. Seorang manusia yang sudah menderita penyakit parah, tentu saja sangat sensitive terhadap lingkungan di sekitarnya. Umpamakan anda adalah sang pasien tersebut. Tentu saja kondisi jiwa anda akan sangat mudah terpengaruh oleh orang-orang di sekeliling anda, yakni dokter dan perawat-perawatnya, dan keluarga / kerabat Anda sendiri.

Ketika melihat mereka semua bersedih dan terbebani akibat penyakit yang Anda derita, pastilah Anda yang akan merasa paling terpukul. Maka, Anda berkehendak untuk mengakhiri hidup agar tak menjadi beban lagi bagi keluarga. Di lain sisi, dokter pun memberikan tawaran shortcut yang menurut Anda baik. Karena tak ada lagi dukungan sosial, dan menurut Anda tak ada lagi usaha lain yang bisa dilakukan si dokter, maka Anda meminta di-euthanized. Padahal, apabila keluarga lebih memberikan dukungan dan motivasi, serta dokter setidaknya mau menjalankan tugasnya memberikan sedikit saja perawatan, tentu akan berbeda kondisinya. Mungkin memang, penyakitnya tidak bisa sembuh, namun setidaknya si pasien tetap didukung orang-orang di sekitarnya untuk menjalani kehidupan yang memang tak mudah lagi. Artinya, kehendak euthanasia ini adalah kehendak yang dilengkapi pengenalan inteligensi yang tidak sempurna.

Teori Etik

Apabila kita memandang tindakan euthanasia dari sudut teori etik, kelompok yang pro, mengikuti Teori Teleologi. Dalam teori ini, dinilai sejauh mana suatu tindakan memberi kebaikan. Makna dari suatu tindakan ditentukan oleh hasil akhir yang terjadi. Pasien yang sudah tidak mungkin sembuh lebih baik diijinkan meninggal daripada nantinya menjadi beban bagi keluarga. Euthanasia dinilai dapat memberikan kebaikan bagi si pasien dan keluarganya.

Pasien tidak perlu lagi merasakan sakit yang tak tertahankan dari penyakitnya, karena ia bisa ‘rest in peace’. Keluiarga pun mendapat kebaikan karena mereka tak perlu lagi menggunakan uangnya untuk menyembuhkan pasien, mereka bisa menggunakan uangnya untuk keperluan lainnya. Yang perlu kita catat di sini, bahwa keputusan euthanasia hanya memperhitungkan aspek-aspek itu (kebaikan yanga akan datang), dengan menolak pertimbangan yang lebih tinggi, menyangkut di tingkat moral mana ia mau menempatkan dirinya.

Manusia memang memiliki kehendak yang bebas. Namun, kebebasan dalam arti sepenuhnya, hanyalah jikalau nilai-nilai moral dilibatkan, jika kita berada di hadapan alternatif-alternatif yang menentukan, sampai batas tertentu, nilai moral dari seluruh kehidupan kita. Louis Leahy juga menjelaskan bahwa, kebebasa adalah suatu kemampuan yang begitu penting dan begitu besar sehingga dia hanya dapat diberikan kepada kita untuk sesuatu yang sangat penting. Melalui kebebasan yang sejati, kita membagi, dalam arti tertentu, kekuasaan mencipta sendiri dari Tuhan. Tatapi satu-satunya hal yang dapat kita cipta adalah kepribadian moral kita sendiri, dan nampaknya kebebasan diberikan kepada kita hanya untuk realisasi tujuan tertinggi itu.

Apakah tindakan euthanasia ini memiliki nilai moral yang pantas sehingga kita bisa menggunakan kebebasan kita sebagai manusia? Tentu saja tidak, karena biar bagaimana pun, euthanasia termasuk dalam kegiatan menghilangkan nyawa seseorang. Menghilangkan nyawa seseorang adalah tindakan yang bernilai moral rendah.

Sedangkan pihak yang kontra menilai dengan teori Deontologi (formalisme).[1] Deon yang berarti tugas. Teori ini berprinsip pada aksi atau tindakan. Menurut filsuf Kant, benar atau salah bukan ditentukan oleh hasil akhir, melainkan oleh nilai moralnya. Dalam kasus ini, seharusnya dokter menolak untuk melakukan euthanasia, karena kode etik seorang dokter yang dituntut membantu meringankan beban si pasien, bukan menhilangkan nyawanya.

Dari penjelasan di atas, penulis meyakini tindakan euthanasia adalah sesuatu yang salah. Dokter tidak seharusnya menawarkan ‘shortcut’ semacam itu, dan keluarga pasien seyogyanya memberikan dukungan moril yang lebih untuk keberlangsungan hidup sang pasien. Dengan begitu, tak ada kode etik yang dilanggar, dan tetap tertanam nilai moral sebagai manusia yang berkehendak bebas. Pasien akan mendapat lebih banyak energi positif dari dukungan keluarga serta usaha-usaha kecil memperpanjang umur yang dilakukan sang dokter.



[1]http://pbasari.wordpress.com/2009/12/08/deontologi-kant/
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar