Jumat, 21 Januari 2011

samar

Semua yang ku lihat adalah kesamaran
Saat ku mulai yakin bahwa ada satu jalan yang tepat di sana,
tiba-tiba saja banyak jalan lain membentang.
Membuat ku harus kembali memutar otak.
Aha, ataukah aku harus merasakaanya dengan hati?
Oh tidak bisa! Hati ku sudah mati.
Bagaimana dengan diri mu?
Apakah jarak pandang mu juga tertutup kabut yang tebal?
Begitu tebal,
hingga kau tak mampu melihat ataupun merasakan dengan jelas
kehangatan yang siap menyambutmu di jalan antara pepohonan itu.
-nadia-21012011

huruf "menara Eiffel"

satu per satu aku tahu hasilnya
diawali kecemasan dan berbagai asumsi, baik positif maupun negatif
namun kemudian dag dig dug segera berganti dengan kelegaan
senyum sumringah sudah pasti dapat terlihat di paras ku
ternyata, huruf berbentuk menara Eiffel itu lah biang kerok nya.

:) Alhamdulilah, konstan. tetap ada satu yg tidak menara Eiffel.

miscommunication

komunikasi, masi tetap saja menjadi serangan di antara kita.
sangat sulit ditaklukan walaupun telah dibuat seminimal mungkin kesalahan
sangat sulit diterjang walaupun sudah sering dilakukan serangan balik
ya, semoga kita mau dan mampu terus belajar dari si musuh yang satu ini.

karena aku..

Kalo aku rewel, itu wajar!
Karena aku hanya ingin yang terbaik untuk mu.
Kalo aku diam, bukan aku tak peduli!
Karena aku sedang berpikir bagaimana memberitahu bahwa kau salah. Namun, tetap tidak menyakiti perasaan mu.
Kalo aku menyendiri, bukan aku sombong!
Karena justru aku sedang berkecamuk dengan hati ku sendiri dan tak ingin kau kena imbasnya.
Kalo aku menangis, bukan aku cengeng!
Karena aku hanya sangat lega memiliki kamu yang bisa mendengarkan keluh kesahku.
Kalo aku tersenyum riang, tentu saja itu kerena kamu!
Karena kamu mampu mengubah bayangan gelap menjadi lebih berwarna.
Dan kalo aku harus jujur, bukannya gombal!
Karena aku tulus, sayang kalian!
:)

sekalipun

Aku akan kembali tersenyum saat ingat canda mu
Sekalipun saat itu begitu berat bongkahan batu yang membebani ku
Sekalipun saat itu begitu sempit ruang untuk melegakan perasaan ku
Sekalipun saat itu, aku hanya bisa mengenangmu tanpa dapat lagi melihat senyummu.

stages of groups

bisa dibilang, kita sudah berada pada tahap "norming"
yang telah didahului oleh "forming" dan "storming"
pada tahap "forming", kita seakan asing satu sama lain
banyak kebingungan dan keresahan dalam benak kita masing-masing
namun kemudian kebingungan dan keresahan itu luntur
dilunturkan oleh keakraban di dalam kebersamaan
mulai membuat tujuan bersama, yaitu masa depan yang sukses.
"storming", kita mencari siapa sosok leader yang bisa menjadi inisiator setiap kegiatan kita
membentuk "clique formation" yang nyaman bagi kita semua
Sekarang, kita sampai pada tahap "norming"
di mana TRUST sudah menjadi kuncinya
saling bekerjasama, di mana setiap dari kita mempunyai perannya masing-masing.
Saatnya melakukan "performing", namun aku enggan untuk "adjourning"
####
love friends
:) :)

dagdigdug

dag dig dug, jantung berdebar
bagai para peneliti yang menanti astronotnya kembali ke bumi
atau para perakit yang menanti bom nya meledak
sebentar lagi saja ceman-ceman
ya sebentar lagi, kita akan tahu hasil perjuangan selama satu semester ini
semster ke-3
semester ganjil setelah dua semester tahun pertama kita
semoga mendapat hasil yang terbaik.
Amin. :)

ku akan menanti :)

aku menanti hari itu.
hari di mana kita akan sama-sama mengenakan pakain kebesaran para sarjana
hari di mana akan banyak senyum dan mungkin tetesan air mata kebahagiaan
di hari itu, kita akan siap
siap melangkah lebih maju lagi
meniti masa depan yang sudah kita impikan
aku yakin
saat itu kita sudah lebih baik
dengan umur dan pemikiran yang sudah dewasa
yang justru akan menertawakan kebodohan kebodohan masa lalu
oh, bukan kebodohan, tapi warna-warni hidup kita
ya, dua sampai dua setengah tahun lagi
aku siap
menanti hari itu.
:)

hari MInggu

11 Januari
Jauh sebelum kita saling kenal
Bahkan belum sekali pun aku mendengar nama mu
Tapi ia,,,
Sudah jauh sebelum hari itu ia menyokongmu dengan kasih sayang
Menghilangkan segla kepusingan mu dan membuatmu tersenyum bahagia
Lalu..
Apa artinya 26 Juni itu?
26 Juni yang cerah itu?
26 Juni yang diawali dengan pagi itu?
26 Juni yang membuat langit dan karang seakan tersenyum?
26 Juni… adalah hari MInggu!

tertahan

Di ruang ini, aku pun tersenyum
Ya, bibir ku menyunggingkan senyum, tetapi lain halnya dengan batinku
Ia seakan menahan ku untuk tersenyum lega
Menahan untuk melepaskan senyum terindah dari bibir tipis ku

do'a untukmu

Dalam kegundahan kala itu, aku berdo’a
Agar kau baik-baik saja , agar kau tetap dengan keceriaan mu dan ketangguhan menghadapi setiap kerikil kehidupan.
Doa’ku terjawab.
Tuhan menjaga mu, bahkan dengan sangat baik.
Baik sekali…
Kau tetap sehat dan mampu tersenyum bahagia
Tak ada yang perlu disesali, bukan?
Aku tetap bangga dengan semua hasil tangan kreatifmu
Yang begitu indah, bahkan…
Mampu menjadikan bayangan tak sekadar hitam, tetapi gemerlap bagai lampu ibukota.

Jumat, 07 Januari 2011

watchout!

Status telah meningkat dari waspada menjadi awas
Puluhan peluru seakan telah siap menembus jantungku
Tak hanya itu, tatapan burung hantu yang sangat tajam itu pun terlihat tak sabar mengintimidasiku
Tapi tunggu dulu!
Perang ini belum selesai kawan!
Jangan terlebih dahulu mengasumsikan hasilnya,,
karena PERJUANGAN ini belum selesai!

"Bundaran HI" part 3

Pencarian Fahrezi tertunda hingga beberapa minggu. Hal ini lantaran aku yang terlalu sibuk dengan proyek-proyek pencapaian mimpi ku. Bahkan, aku sempat jatuh sakit selama hampir seminggu. Tidak dapat beraktivitas, hanya bisa beristirahat dan istirahat. Semakin ku sering merasa bosan, sesering itu juga Tarra mengirimi ku sms “Reminder”. Reminds me to eat, to pray, and to sleep. Ohya, selama beberapa minggu ini juga Tarra sudah pindah dari kampus kami. Dia harus ke luar negeri mengikuti ayahnya yang memang bertugas dinas di sana.

Sebelum sakit, aku sempat mengunjungi salah satu distro di bilangan Tebet. Distro yang menerima hasil design Fahrezi. Begitu sih menurut ceritanya. Namun, aku tak menemukan petunjuk apa pun di sana. Sampai suatu ketika, temanku yang bekerja part time di sebuah Event Organizer (EO) memintaku menemaninya ke salah satu universitas swasta di daerah Kuningan. Ia hendak mengurus perizinan untuk mengadakan event di kampus tersebut. Ketika aku mendengar nama universitasnya, langsung saja aku iya kan permintaan teman ku itu. Ya, tentu saja aku mau, kampus itu adalah tempat di mana Fahrezi mengenyam pendidikan. Selama ini, aku tak pernah diajak ke kampusnya, sedangkan ia seringkali menemui ku di kampus ku.

Yap, ini kesempatanku untuk melanjutkan pencarian terhadap si Bundaran HI. Tapi sebentar, mungkin hingga saat ini kalian bertanya-tanya mengapa aku menyebutnya Bundaran HI di samping tempat itu adalah tempat pertama ku melihatnya. Bundaran HI, Landmark kota Jakarta yang menjadi favoritku karena kemegahannya. Begitu juga dengan Fahrezi, baginya dan teman-teman fotografernya, Bundaran HI adalah tempat favorit. Mereka sering hunting foto di sana, dan Fahrezi bangga akannya.
*

Waktu menunjukan pukul 15.00. Aku dan temanku, Rana namanya, menunggu bus Trans Jakarta yang akan mengantarkan kami ke kampus Fahrezi. Selama perjalanan, kami membicarakan banyak hal, terutama mengenai asa dan cita kami. Sesampainya di halte depan kampus tujuan, jantung ku berdebar, ia berdetak cepat. Apakah ini suatu kewajaran ataukah pertanda? Hm,,entahlah.

Kami memasuki kampus yang menurutku lebih mirip gedung perkantoran. Rana segera mengurus apa yang harus diurusnya. Sedangkan aku sibuk melihat sekitar untuk mencari kalau-kalau ada sosok si Bundaran HI.

“Mba, kalo jurusan Komunikasi di sebelah mana ya kelasnya?”, tanyaku pada seorang mahasiswi yang sedang duduk di koridor.
“Oh, komunikasi. Di gedung ini juga, tapi kayanya gak ada deh anak-anaknya!”
“Ohya? Memang tidak ada kuliah?”
“Kata teman aku yang anak Komunikasi si, mereka gak ada jadwal hari jum’at.”
“Ah masa? Kata temen aku, ada ko!”, aku merasa kurang percaya, karena seingatku Fahrezi pernah bilang ada jadwal hari Jum’at.
“Oh gitu. Yaudah ditunggu aja. Nyari temennya yah? Emang ga janjian?”
“Iya, emang gak janjian sih”.
“Kenapa gak di-sms aja?”
“Oh, HP nya mati, lowbat.”, jawabku sekenanya. Padahal aku tak tahu lagi nomor HP si Bundaran HI itu.
“Emang temennya angkatan berapa? Siapa tau aku kenal. Aku Uthe, jurusan Akuntansi 2010.”
“Ohya, saya Neysha. Teman saya angkatan 2008”
“Komunikasi 2008?????????”, tanya nya dengan ekspresi sangat heran.
“Iya, memang kenapa?
“Setahu saya, jurusan Komunikasi itu baru ada tahun 2010.”
“Oh, begitu ya. Terimakasih”, ucapku menutup pembicaraan.

Aku begitu kaget mendengar berita tersebut. Kontan saja aku bergegas mencari Rana untuk mengajaknya cepat pulang. Di bus, aku membuka Google search dari HP ku. Benar saja, yang dikatakan Uthe, jurusan tersebut memang baru dibuka tahun 2010. Lantas, Fahrezi kuliah dimana? Jurusan apa? Apakah ia berbohong? Untuk apa?
*
To be continued

Baca juga Bundaran HI Part 1http://www.facebook.com/note.php?note_id=428955144388
Part 2 http://www.facebook.com/note.php?note_id=435341744388
:)

mengapa, dimana, kemana?

mengapa bayangan mu tak kunjung muncul di bawah sinar yang cerah?
mengapa dering indah juga tak kunjung terdengar dari telepon genggamku?
mengapa pula tak ada satu pun pesan dalam kotak suratku?
bahkan namamu tak dapat lagi ku temukan dalam daftar panjang pengguna jejaring itu
mengapa?


dimana kah sosok mu?
di mana kau sembunyikan segala keindahan itu?
di mana kau simpan rapat rasa itu?
rasa yang sempat engkau singkap keberadaannys
di mana?


kemana akan kau bawa segala memori itu?
kemana kau buang sosok pangeran itu beserta kudanya yang tangguh?
kemana lagi kau akan tunjukan potret lain dirimu?
kemana?


*bagian dari cerbung "Bundaran HI"
baca di sini http://www.facebook.com/note.php?note_id=475218699388

game?

Dia yang pura-pura tidak tahu
atau memang tidak tahu?
Dia yang pura-pura tidak mengerti
atau memang tidak mengerti?
Dia yang pura-pura tidak peduli
atau memang tidak peduli?
Dia yang tetap dengan kebekuannya
memikirkan apa saja yang menurutnya lebih penting
Ya, Dia.
Dia itu Kamu.
Kamu yang mungkin menganggap ini adalah game.
Maybe you think, i was kidding you.
Hey, it wasn't a game, dude!
And you should know, i still keep it for you.

trust me

kondisi itu berbalik
sekarang aku yang seperti pesakitan
aku takut, bahkan terlalu takut untuk mengingat semua itu
apalagi jika aku harus menuliskannya kembali seperti yang sering aku lakukan
entah hal apa yang merasuki hatiku sehingga sebegini takutnya
mungkin ia sudah merasa jengah, lelah, dan terlalu sakit
aku tahu ini salah, ini adalah sebuah kecemenan
tapi beri aku waktu
aku akan menghancurkan semua tembok itu!
tembok ketakutan yang menghalangi langkahku!
percayalah.
###############
Seorang penulis harus bisa keluar dari traumanya

Pangeran dan Raja Pendusta

kau adalah seorang pangeran
pangeran berkuda yang sangat sempurna
kau mampu memesonakan semua rakyat yang mengenalmu
namun kemudian, kau terbunuh
terbunuh seketika dengan begitu menyedihkan
oh bukan. kau bukan terbunuh
melainkan dibunuh!
dibunuh sang raja
raja yang memegang kekuasaan penuh
raja yang menghidupimu
raja yang memberikan ruh dan identitas pada mu
dialah Raja Pendusta!
Dia membuatmu hidup dengan pondasi kedustaan
membangun image sempurna di hadapan semua mata
dan ketika lelah, dia membunuhmu dengan kejamnya.
-nadia-27112010

the 17th

baru aku sadari, ternyata banyak sekali hal yang berbeda setelah kepergianmu.
beberapa hal yang tadinya aku lakukan, aku tinggalkan.
yang tadinya aku abaikan, menjadi perhatianku.
tak lagi aku cari nama mu di banner Friends, karena ku tau tak akan ada lagi nama kamu di situ.
nama yang sering salah aku menyebutnya, namun kemudian aku menghapalnyai.
tak lagi aku merasa pesimis dengan semua cita-cita ku, karena dulu kau pernah berkata agar ku tetap optimis.
tak lagi aku menunggu sampai tengah malam untuk mengetahui bagaimana hasil project mu.
tak lagi aku hiasi hari minggu pagi dengan semua ocehan mu.
tak lagi aku lihat dan dengar, ejekan lucu dari mu.
tak lagi, tak lagi, dan tak lagi aku rasakan banyak hal yang tadinya ada.
aku lebih menikmati macet di bundaran pusat kota Jakarta itu.
aku mencari jawaban berapa sebenarnya jumlah kuda di patung itu.
aku memperhatikan apa saja yang dikerjakan orang yang memiliki hobi seperti mu.
aku menghindari kata 'goodbye' dalam perkataan ku.
dan tak lupa menyebut mu dalam do'a ku.
-17 Oktober 2010-
17 minggu setelah kenangan itu.
semoga kau baik-baik saja di sana, teman ku yang tangguh dan penuh canda.
:)

Misteri Euthanasia

MISTERI EUTHANASIA
Oleh Nadia Nurfadilah

Tahukah anda bahwa saat ini terdapat pembunuhan yang dilegalkan? Euthanasia. Itu lah jawabannya. Seorang dokter diperbolehkan membunuh pasiennya sendiri. Hal ini masih menjadi kontroversi yang belum berujung.

Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di Negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup.(wikipedia.org/euthanasia). Kasus ini merupakan contoh euthanasia pasif.

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, Eu yang berarti baik, dan Thanatos yang berarti kematian. Dapat dikatakan, Euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian atau mengakhiri hidup seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, yang dilatarbelakangi rasa kasihan untuk meringankan penderitaan si sakit.

Dalam praktiknya, dikenal dua macam euthanasia,yaitu euthanasia aktif, dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif, ialah kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perkiraan/perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah.

Sedangkan Euthanasia pasif ialah kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contohnya, penghentian pemberian nutrisi, air, dan bantuan pernafasan. Tindakan dokter ini dilakukan pada pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.

Pro Kontra Euthanasia

Tindakan euthanasia ini, tentu saja mendapat tanggapan yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Kelompok-kelompok yang pro terhadap tindakan euthanasia menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Terlebih lagi melihat hak keluarga si pasien yang harus dikedepankan. Bahwa, mereka akan terbebani oleh biaya perawatan si pasien yang sudah tidak ada kemungkinan sembuh. Mereka juga berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral.

Sedangkan kelompok yang kontra terhadap tindakan euthanasia menekankan bahwa tindakan ini kontradiktif terhadap kode etik kedokteran. Dokter yang dituntut meringankan beban penderitaan pasien, malah melakukan tindakan yang menghilangkan nyawa si pasien tesebut. Dalam perundang-undangan pun, tindakan menghilangkan nyawa seseorang termasuk tindak pidana, yang dilarang di Negara mana pun.

Penulis sendiri menilai, dengan adanya euthanasia, akan menciptakan suatu paradigma di mana sang pasien adalah beban yang sangat berat, dan solusi untuknya sudah sangat jelas, yaitu dia harus mati dengan euthanasia. Tentu saja ini sangat bertentangan dengan tugas dokter yang sebenaranya. Dalam pengobatan, dokter harus berusaha menyembuhkan penyakit yang diderita si pasien. Tentu saja dibarengi dengan motivasi agar si pasien tetap menjalanai hari-harinya seperti orang normal. Akan tetapi, dengan adanya euthanasia ini, dokter seakan menawarkan cara pintas untuk bunuh diri kepada pasiennya sendiri.

Tindakan euthanasia juga menggambarkan tidak adanya dukungan sosial bagi si pasien, kurangnya perawatan kesehatan, dan depresi. Pasien yang sudah terbebani dengan penyakitnya, masih harus terbebani dengan bayang-bayang bahwa orang-orang di sekitarnya ingin ia cepat mati. Para aktor dalam dunia kesehatan yang seyogyanya memberikan perawatan pada yang sakit, malahan menciptakan suatu shortcut agar tak usah lagi merawat pasien yang sudah parah penyakitnya. Tentu saja ini menunjukan ke-depresi-an dari berbagai pihak. Pasien depresi karena tidak lagi mau berharap sembuh, Dokter dan antek-anteknya depresi karena tidak lagi berusaha ‘menyembuhkan’ sang pasien. Begitu pun, masyarakat dalam hal ini keluarga dapat dikatakan depresi karena tega membiarkan salah satu anggotanya dihilangkan nyawanya tanpa berusaha disembuhkan terlebih dahulu.

Dalam kasus euthanasia sukarela (mendapat izin terlebih dahulu dari sang pasien), kita juga tidak bisa semerta-merta mengatakan ini bukan tindakan membunuh, karena telah mendapat izin dari ‘yang mau dibunuh’. Namun, kita perlu melihat lebih dalam, apa yang salah dalam kasus ini. Para kelompok pro euthanasia mengatakan pasien harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Memilih cara euthanasia adalah otonomi dari sang pasien. Artinya, pasien sendiri yang menghendaki dirinya di-euthanized.

Louis Leahy dalam bukunya Manusia Sebuah Misteri menjelaskan bahwa kehendak cenderung ke arah suatu kebaikan yang disajikan oleh inteligensi. Dan sebagaimana inteligensi mengerti bahwa dia mengerti, demikian pula kehendak menghendaki kehendaknya. Kalau manusia mengambil suatu keputusan bebas, dia benar-benar sadar bahwa dialah yang mengambil keputusan itu. Akhirnya, bukanlah inteligensi yang mengenal, juga bukan kehendak yang berkehendak dan memilih, tetapi manusialah yang mengenal melalui inteligensinya dan yang berkehendak dan meilih melalui kehendaknya.

Dalam kasus euthanasia sukarela ini, apakah sang pasien benar-benar berkehendak dirinya di-euthanized? Dan apakah kehendak tersebut sudah diiringi oleh pengenalan intelegensi yang baik? Tidak jawabannya. Seorang manusia yang sudah menderita penyakit parah, tentu saja sangat sensitive terhadap lingkungan di sekitarnya. Umpamakan anda adalah sang pasien tersebut. Tentu saja kondisi jiwa anda akan sangat mudah terpengaruh oleh orang-orang di sekeliling anda, yakni dokter dan perawat-perawatnya, dan keluarga / kerabat Anda sendiri.

Ketika melihat mereka semua bersedih dan terbebani akibat penyakit yang Anda derita, pastilah Anda yang akan merasa paling terpukul. Maka, Anda berkehendak untuk mengakhiri hidup agar tak menjadi beban lagi bagi keluarga. Di lain sisi, dokter pun memberikan tawaran shortcut yang menurut Anda baik. Karena tak ada lagi dukungan sosial, dan menurut Anda tak ada lagi usaha lain yang bisa dilakukan si dokter, maka Anda meminta di-euthanized. Padahal, apabila keluarga lebih memberikan dukungan dan motivasi, serta dokter setidaknya mau menjalankan tugasnya memberikan sedikit saja perawatan, tentu akan berbeda kondisinya. Mungkin memang, penyakitnya tidak bisa sembuh, namun setidaknya si pasien tetap didukung orang-orang di sekitarnya untuk menjalani kehidupan yang memang tak mudah lagi. Artinya, kehendak euthanasia ini adalah kehendak yang dilengkapi pengenalan inteligensi yang tidak sempurna.

Teori Etik

Apabila kita memandang tindakan euthanasia dari sudut teori etik, kelompok yang pro, mengikuti Teori Teleologi. Dalam teori ini, dinilai sejauh mana suatu tindakan memberi kebaikan. Makna dari suatu tindakan ditentukan oleh hasil akhir yang terjadi. Pasien yang sudah tidak mungkin sembuh lebih baik diijinkan meninggal daripada nantinya menjadi beban bagi keluarga. Euthanasia dinilai dapat memberikan kebaikan bagi si pasien dan keluarganya.

Pasien tidak perlu lagi merasakan sakit yang tak tertahankan dari penyakitnya, karena ia bisa ‘rest in peace’. Keluiarga pun mendapat kebaikan karena mereka tak perlu lagi menggunakan uangnya untuk menyembuhkan pasien, mereka bisa menggunakan uangnya untuk keperluan lainnya. Yang perlu kita catat di sini, bahwa keputusan euthanasia hanya memperhitungkan aspek-aspek itu (kebaikan yanga akan datang), dengan menolak pertimbangan yang lebih tinggi, menyangkut di tingkat moral mana ia mau menempatkan dirinya.

Manusia memang memiliki kehendak yang bebas. Namun, kebebasan dalam arti sepenuhnya, hanyalah jikalau nilai-nilai moral dilibatkan, jika kita berada di hadapan alternatif-alternatif yang menentukan, sampai batas tertentu, nilai moral dari seluruh kehidupan kita. Louis Leahy juga menjelaskan bahwa, kebebasa adalah suatu kemampuan yang begitu penting dan begitu besar sehingga dia hanya dapat diberikan kepada kita untuk sesuatu yang sangat penting. Melalui kebebasan yang sejati, kita membagi, dalam arti tertentu, kekuasaan mencipta sendiri dari Tuhan. Tatapi satu-satunya hal yang dapat kita cipta adalah kepribadian moral kita sendiri, dan nampaknya kebebasan diberikan kepada kita hanya untuk realisasi tujuan tertinggi itu.

Apakah tindakan euthanasia ini memiliki nilai moral yang pantas sehingga kita bisa menggunakan kebebasan kita sebagai manusia? Tentu saja tidak, karena biar bagaimana pun, euthanasia termasuk dalam kegiatan menghilangkan nyawa seseorang. Menghilangkan nyawa seseorang adalah tindakan yang bernilai moral rendah.

Sedangkan pihak yang kontra menilai dengan teori Deontologi (formalisme).[1] Deon yang berarti tugas. Teori ini berprinsip pada aksi atau tindakan. Menurut filsuf Kant, benar atau salah bukan ditentukan oleh hasil akhir, melainkan oleh nilai moralnya. Dalam kasus ini, seharusnya dokter menolak untuk melakukan euthanasia, karena kode etik seorang dokter yang dituntut membantu meringankan beban si pasien, bukan menhilangkan nyawanya.

Dari penjelasan di atas, penulis meyakini tindakan euthanasia adalah sesuatu yang salah. Dokter tidak seharusnya menawarkan ‘shortcut’ semacam itu, dan keluarga pasien seyogyanya memberikan dukungan moril yang lebih untuk keberlangsungan hidup sang pasien. Dengan begitu, tak ada kode etik yang dilanggar, dan tetap tertanam nilai moral sebagai manusia yang berkehendak bebas. Pasien akan mendapat lebih banyak energi positif dari dukungan keluarga serta usaha-usaha kecil memperpanjang umur yang dilakukan sang dokter.



[1]http://pbasari.wordpress.com/2009/12/08/deontologi-kant/