Minggu, 21 Februari 2010

Hubungan social di tengah desakan penumpang

….“Saya capek terus berdiri dan berdesakan seperti ini”, celoteh seorang penumpang remaja sambil berpegangan di salah satu tiang dalam bus 43. Seraya merapikan posisi tas nya, sambil tersenyum ia melanjutkan, “tapi saya senang di sini bisa ngobrol sama banyak orang!”…..

Sebagai orang yang tinggal di Jakarta, tentu sangatlah terbiasa dengan kemacetan. Selain kemacetan, bagi orang-orang yang tidak memiliki kendaraan pribadi, mereka juga terbiasa untuk berdesakan di dalam angkutan umum seperti bus. Apalagi pada jam-jam pulang kantor, penumpang dalam bus sudah seperti ikan teri yang berjejal untuk masuk ke dalam pepes.

Jumlah penumpang dengan kapasitas tempat duduk dalam bus tentu tidak sebanding lagi. Alhasil, akan banyak sekali penumpang yang berdiri. Meski keadaan bus sudah penuh sesak, sang kernet biasanya akan tetap mengangkut penumpang dari halte-halte yang dilewati bus. Sungguh tidak mengenakan bukan, bila menjadi salah satu penumpang yang harus berdiri dalam bus yang penuh sesak.

Itu lah yang dialami Mita(mahasiswa, 18 tahun) setiap sore. “Setiap pulang kuliah, saya naik bus ini. Pasti busnya sudah penuh dan saya harus berdiri dekat pintu”, cerita Mita. Namun, dari semua kondisi yang tidak mengenakan ini, ada sesuatu yang sangat baik terjalin di tengah desakan penumpang. Sebuah hubungan social.

“Saya capek terus berdiri dan berdesakan seperti ini”, celoteh Mita sambil berpegangan di salah satu tiang dalam bus 43. Seraya merapikan posisi tas nya, sambil tersenyum ia melanjutkan, “tapi saya senang di sini bisa ngobrol sama banyak orang!”. Itu lah yang dirasakan Mita dan mungkin juga beberapa penumpang lainnya.
Dalam bus yang penuh dengan orang-orang yang berbeda umur dan profesi, namun kepentingan yang sama. Yaitu kembali ke “home sweet home” setelah seharian beraktivitas. Terjalin interaksi social yang baik di sini. Seorang penumpang pria akan mendahulukan penumpang wanita untuk duduk. Seorang wanita muda pun akan mendahulukan orang-orang paruh baya, entah pria entah wanita. Mereka mengalah atas kepentingan pribadinya demi melindungi orang lain. Meski telah lelah dan sangat ingin menikmati kursi yang walau tidak seempuk sofa, mereka memberikan kesempatan duduk untuk orang lain terlebih dahulu.

Tidak jarang juga, di antara si pemberi dan penerima tempat duduk, terjadi percakapan singkat namun cukup hangat. Sekadar ucapan terima kasih atau dilanjutkan dengan pertanyaan hendak kemana, kerja di mana, dan lain sebagainya.
Di antara orang-orang yang sama-sama berdiri pun, sering terjadi percakapan. Mereka biasa mengeluhkan kondisi jalan yang macet atau sekedar menyerukan apa yang ada di pikirannya. “Huh, penuh banget deh!”,seru MIta. Lalu seruan tersebut dijawab oleh seorang yang berdiri di dekatnya. Seperti itulah hubungan social yang terjalin di antara para penumpang yang “senasib” . Walaupun kondisi berdesakan dengan badan-badan dari yang selangsing model hingga yang sebesar sumo. Menghirup udara dengan berbagai aroma badan yang sering kurang sedap di sekelilingnya. Kesulitan menjaga barang bawaanya. Namun, ada sesuatu positif dalam kondisi ini. Kita dapat belajar untuk mengutamakan kepentingan orang lain, belajar tetap berpikir positif karena tidak hanya kita yang berdiri kesulitan tetapi ada banyak lagi penumpang lainnya, serta menjalin komunikasi dengan orang-orang baru yang berbeda profesi.

Dalam kondisi apa pun, ketika ada orang lain selain diri kita sendiri, kita dapat menjalin hubungan social yang baik di kondisi tersebut. Sesuai dengan salah satu kebutuhan manusia, yaitu untuk berinteraksi dengan sesamanya.
Categories:

2 komentar:

  1. Sumpahnya, aing pusing liat tulisannya. Bukan gara-gara isinya, tapi fontnya kudu diganti nih kayanya. @__@

    BalasHapus
  2. udah diganti font nya ta. haha makasih

    BalasHapus